5 Tradisi di Brebes Unik dan Masih Terlestari

BREBES, smpantura – Letak geografis Kabupaten Brebes berada di ujung Barat Jawa Tengah, dan berbatasan langsung dengan Jawa Barat. Letak geografis daerah dengan julukan Kota Bawang atau Kota Telur Asin ini, ternyata mempengaruhi tradisi masyarakat lokal. Bahkan, lebih mengandung unsur pencampuran antara Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Posisi Brebes yang berada di daerah perbatasan dua provinsi ini, menumbuhkan tradisi dan budaya masyarakat yang unik. Sederet tradisi yang unik ini, higga saat ini bahkan masih terlestari. Masyarakat lokal masih menggelar tradisi ini secara turun menurun.

Berikut tradisi unik dan masih terlestari di Kabupaten Brebes, yang layak anda kunjungi.

1. Tradisi Ngasah Jalawastu
Jalawastu merupakan salah satu kampung yang terletak di Kabupaten Brebes. Tepatnya, di Desa Ciseureuh, Kecamatan Ketanggungan. Lokasinya berada sekitar 70 km ke arah barat daya dari pusat kota Brebes.

Di Kampung Jalawastu ini, memiliki upacara adat atau tradisi unik yang hingga kini masih terjaga. Upacara adat ini terkenal di masyarakat lokal dengan nama upacara adat Ngasa. masyarakat Kampung Jalawastu rutin melaksanakan upacara Adat Ngasa setahun sekali. Yakni, setiap Selasa Kliwon pada Mangsa Kesanga atau kesembilan dalam kalender Jawa. Ritual ini berlangsung di antara kaki Gunung Kumbang dan Gunung Sahara, untuk nanti masyarakat menggelar doa serta makan bersama.

Pemerintah menetapkan Kampung Jalawastu sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) kategori situs adat pada Selasa, 10 Maret 2020. Masyarakat Jalawastu memulai perayaan Adat Upacara Ngasa pada pukul 06.00 WIB dengan berjalan menuju Pesareaan Gedong. Pemuka adat memimpin langsung upacara tersebut sambil mengenakan pakaian putih. Ibu-ibu turut mengikuti prosesi dengan membawa makanan yang akan disajikan dalam upacara adat.

2. Tradisi Ngasah Gandoang
Tradisi Ngasa Gandoang merupakan tradisi masyarakat sunda di tanah Jawa yang sudah berlangsung dari zaman dahulu. Di Kabupaten Brebes, masyarakat yang melaksanakan tradisi ini adalah warga Desa Gandoang, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes.

Keberadaan Ngasa Gandoang terdeteksi lewat Manuskrip Gunung Sagara yang ditulis Bupati Brebes Arya Tjandranegara. Catatan ini ditulis ulang oleh Karel Frederick Hole antara tahun 1825 – 1896. Holle merupakan seorang pengusaha perkebunan teh di Garut yang diangkat jadi penasehat Hindia Belanda.

Dalam tradisi ini, para petani berdo’a agar panennya melimpah dan pedagang laris manis dagangannya. Pengaruh ajaran Hindu masih dijumpai dalam ritualnya. Terlihat dari Ritual Micen walaupun tidak begitu kental. Masyarakat melakukan puasa sebelum pelaksanaan Ngasa, menyediakan kudapan Papais Jagong, Nasi Jagung dan Nasi Ketan.

Tradisi Ngasa Gandoang melibatkan arak-arakan makanan dan hasil bumi dari warga menuju Gunung Sagara, sebagai bagian dari ritual syukuran.

3. Tradisi Padusan Tuk Suci
Warga Desa Winduaji, Kecamatan Paguyangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, masih melestarikan tradisi Padusan atau mandi bersama hingga saat ini. Tradisi ini digelar setiap menjelang bulan suci Ramadhan dan berlangsung di mata air Tuk Sirah Pemali.

Padusan dilakukan masyarakat Winduaji baik perorangan ataupun berkelompok. Sebelum Padusan dimulai mereka menyiapkan dulu keperluan untuk mandi. Yaitu, dengan membakar jerami atau merang untuk keramas. Selain jerami juga ada satu lagi gerusan batu bata atau genting untuk menggosok gigi.

BACA JUGA :  Lima Fakta Menarik tentang Museum Purbakala Bumiayu yang Perlu Anda Ketahui

Walaupun sekarang sudah banyak sampo dan pasta gigi, namun pada saat Padusan kedua bahan tersebut masih digunakan sebagai penghormatan pada tradisi. Tuk Sirah Pemali sebagai tempat melaksanakan tradisi ini, juga sebagai destinasi wisata yang menarik, dan mempesona.

4. Tradisi Ratiban
Tradisi Ratiban berada di Desa Pandansari, Kecamatan Paguyangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Ritual digelar ketika masyarakat Desa Pandansari mengalami musibah atau bencana seperti kekeringan berkepanjangan, gagal panen karena serangan hama, hujan dan badai, dan bencana alam lain seperti gempa bumi.

Masyarakat melaksanakan tradisi ini setiap bulan Sura. Tepatnya, malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon. Tujuannya untuk meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa agar dimudahkan dan dikeluarkan dari kesulitan yang menimpa warga desa.

Dari berbagai catatan sejarah, inisiator tradisi ini adalah seorang tokoh masyarakat Desa Pandansari, bernama Kyai Sirpan Reksayuda. Ia merupakan kepala desa pertama Desa Pandansari pada 1892-1917. Kyai Sirpan Reksayuda dilahirkan di Kota Pemalang, Jawa Tengah sekitar tahun 1850. Ia merupakan putra Kyai Carmin Reksayuda Kepala Desa Juran Mangu, Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang. Kyai Sirpan Reksayuda melakukan perjalanan ke wilayah selatan dan menetap sekaligus menikahi putri Dukuh Tretepan, Desa Pandasari bernama Tiyem.

Masyarakat Desa Pandansari meyakini, bahwa Ratiban adalah upacara adat yang harus dilakukan agar mereka dijaga oleh Sang Penguasa Alam dari kesulitan dan bencana. Ritual ini harus dilaksanakan di sebuah tempat yang disakralkan atau dianggap keramat oleh warga setempat. Yakni, Telaga Ranjeng merupakan tempat yang disakralkan untuk melaksanakan ritual Ratiban sebagaimana yang diwariskan sesepuh Desa Kyai Sirpan Reksayuda.

5. Tradisi Sedekah Laut
Bulan Muharram yang juga ditandai sebagai Tahun Baru Jawa, banyak dilakukan kegiatan sedekah masal. Banyak kita jumpai sedekah ucapan syukur berdasarkan wilayah dimana kita tinggal. Bagi masyarakat daratan mengadakan Sedekah Bumi, di gunung Sedekah Gunung, Sedekah Waduk dan bagi masyarakat pesisir mereka mengadakan Sedekah Laut.

Di bulan ini, masyarakat di sepanjang Pantura Brebes banyak melakukan Sedekah Laut, khususnya masyaraka nelayan. Salah satunya, di Desa Kaliwlingi, Brebes. Puluhan perahu hias beriringan menyusuri Sungai Pemali menuju laut lepas. Perahu yang berhiaskan bendera, umbul-umbul, makanan dan minuman dengan iringan musik mengawal miniatur perahu yang berisi sesaji. Sesaji yang dilarung sebagai tanda syukur nelayan kepada penguasa laut Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan tangkapan hasil laut.

Sedekah Laut simbol kemakmuran nelayan dan ungkapan syukur. Mengingat biaya sedekah laut tidak sedikit, mencapai ratusan juta Rupiah. Biaya tersebut ditanggung swadaya masyarakat yang terdiri dari nelayan, tauke , ABK dan masyarakat diaspora.

Sebelum pelaksanaan, malam sebelumnya diadakan pengajian, santunan, dan pagelaran wayang golek atau kulit semalam suntuk. Besok paginya saat pelaksanaan setelah diadakan larung saji disuguhkan hiburan marsose atau panggung dangdut. Bentuk ungkapan syukur karena tangkapan hasil laut yang melimpah. Dengan melarung sesaji yang diibaratkan re-stocking ikan. Bukan hanya mengambil ikan dilaut saja tetapi juga melakukan pembibitan lagi. (**)

error: