TEGAL, smpantura – Universitas Pancasakti (UPS) Tegal, kembali mengukuhkan guru besar. Kali ini kepada Prof Dr Hamidah Abdurachman, yang dikukuhkan menjadi Guru Besar Hukum Pidana perguruan tinggi tersebut.
Pengukuhan guru besar itu digelar dalam sidang senat terbuka perburuan tinggi tersebut, Senin (21/8). Pengukuhan dilakukan, Ketua Senat Drs Ponoharjo, mewakili Rektor Dr Taufiqulloh, didampingi Guru Besar senior Prof Dr Siti Hartinah.
Pengukuhan mantan komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) periode 2012-2016 itu, sebagai Guru Besar Hukum Pidana, menjadikan guru besar keempat yang dilahirkan perguruan tinggi tersebut, yang kini telah berusia 43 tahun.
”Selamat dan sukses, semoga gelar atau predikat yang disandang ini barokah. Dan terus membawa manfaat bagi UPS Tegal, juga bagi bangsa dan negara Indonesia,” ucap Drs Ponorjo, sembari menjabat tangan Prof Dr Hamidah Abdurachman.
Perlu diketahui, pengukuhan guru besar kali pertama dilakukan senat perguruan tinggi tersebut, terhadap Prof Dr Tri Jaka Kartana. Kemudian terhadap Prof Dr Siti Hartinah. Selanjutnya terhadap Prof Dr KRT Purwo Susongko.
Saat pidato pengukuhannya, Hamidah mengayunkan materi cukup menarik bertajuk, “Problematika Penegakan Hukum Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Restoratif Justice Atau Perlindungan Korban”.
Menurut dia, materi yang dibeberkan itu, antara lain, berisi penjelasan tentang penegakan hukum terhadap kekerasan dalam rumah tangga, pasca berlakunya peraturan polisi tentang restoratif justice, dan prospek perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Dia tidak membacakan isi materi pidato pengukuhannya secara keseluruhan. Melainkan menyampaikan beberapa hal penting, yang dianggap dapat mewakili isi materi yang dibeberkan. Meski begitu, pidatonya tetap menarik, dan memberikan banyak wacana berkait masalah KDRT yang masih merugikan kaum hawa.
Penghapusan KDRT
Hamidah mengungkapkan, dalam rangka perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga, sejak tahun 2004, Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).
Dalam perjalanan selama 19 tahun undang-undang tersebut, penegakan hukum terhadap kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi catatan, dan perlindungan korban belum ada.
Dalam banyak kasus suami menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Korbannya adalah istri dan anak. Itu karena kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga, dianggap lebih berkuasa dibandingkan istri.
Undang-Undang tersebut, lanjut dia, melarang tindak kekerasan terhadap orang dalam lingkup rumah tangga dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual atau penelantaran dalam rumah tangga.
Orang-orang dalam lingkup rumah tangga yang dimaksud adalah suami, istri, anak, serta orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian, serta orang yang bekerja membantu dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Karena dipicu berbagai faktor, sampai saat ini korban kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya istri dan anak, tetapi juga suami. Beberapa alasan yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, diantaranya, rendahnya tingkat pendidikan, ekonomi, perselingkuhan, perebutan hak pengasuhan, dan balas dendam.
Kemudian penyalahgunaan narkoba atau minuman keras, perbedaan karakter budaya, dan kurangnya persiapan pasangan sebelum menikah baik dari sisi fisik, mental, maupun psikologis. Akibatnya fondasi rumah tangga ketika terjadi permasalahan mudah goyah.
Kendala dalam penegakan hukum terhadap kekerasan dalam rumah tangga, yaitu perempuan belum sepenuhnya berani mengungkapkan terhadap penderitaan yang dialami. Sikap penegak hukum yang belum melihat kekerasan dalam rumah tangga sebagai kejahatan. Tapi lebih sebagai persoalan rumah tangga. Kalaupun sampai di pengadilan, hukum terhadap pelaku rendah, dan tidak ada putusan hakim yang memberikan hak-hak kepada korban kejahatan. (T02-Red)