- Oleh Syamsul Maarif, SS., M.Pd
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar”. (Qs. An Nur : 11).
Di era generesi Z sekarang ini, berita benar atau salah sudah hampir sulit dibedakan. Apalagi berita-berita tersebut berseliweran saling bersaut diviralkan oleh pegiat media sosial yang sering kita kenal dengan sebutan Buzzer. Biasanya sang Buzzer memproduksi video dari potongan-potongan video pendek yang digabung rapih, mau pilih suara laki-laki atau wanita tinggal menggunakan aplikasi text to speech, setelah proses editing lalu tim mereka memviralkan di Tik Tok, Snack Video, dan lain-lain, kemudian ramai-ramai dibahas dalam podcast-podcast youtube.
Mereka benar-benar kreatif, runut dan runtun menyajikan berita, dan tujuan mereka selain uang yaitu membawa pesan dari penguasa untuk menghegemoni masyarakat penonton agar mereka percaya dengan konten video atau berita yang dibuatnya.
Celakanya tidak sedikit penonton mempercayai informasi yang berupa potongan-potongan video pendek tersebut tanpa proses tabayyun atau membandingkan dengan berita serupa, apalagi melakukan rekonstruksi ataupun dekonstruksi. Konyolnya lagi info tersebut dishare ke group, kemudian jadi bahan debat kusir. Bahkan Kolotnya lagi, kecenderungannya menolak ketika diberi informasi yang konkrit, komprehenship, yang jelas-jelas beritanya live dan utuh.
Mencermati fenomena semacam itu, maka sangatlah penting bagi kita untuk melek (literasi) Digital sehingga kita memiliki kemampuan mensortir informasi, berita-berita yang tersebar dengan menggunakan kacamata yang lebih komprehensif.
Menurut Paul Gilster (2007, dalam Harjono) mengatakan bahwa literasi digital merupakan kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi yang didapatkan dari berbagai sumber.
Sementara itu, menurut Deakin University’s Graduate Learning Outcome 3, mengungkapkan bahwa literasi digital adalah upaya memanfaatkan teknologi dalam menemukan, menggunakan, dan menyebarluaskan informasi dalam dunia digital seperti saat ini.
Sedangkan menurut Common Sense Media (2009, dalam Harjono) berpendapat bahwa literasi digital itu mencakup adanya tiga kemampuan yang berupa kompetensi pemanfaatan teknologi, memaknai dan memahami konten digital serta menilai kredibilitasnya, meneliti dan mengkomunikasikan dengan alat yang tepat.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa literasi digital merupakan upaya yang diperlukan individu pada era gen-z untuk mengkonter wacana hoak dan menyaring informasi secara akurat agar terhindar dari hegemoni penguasa.
Upaya lain untuk mendukung literasi digital adalah penggunaan aplikasi yang tepat dan pemahaman secara mendalam mengenai informasi yang didapatkan. Mengingat Literasi yang buruk dapat berdampak buruk pula bagi psikologis remaja, pun orang tua. Hal tersebut karena usia remaja cenderung labil dan oran tua banyak yang gagap teknologi, sehingga mereka sering menelan mentah-mentah informasi yang didapatkan tanpa mencari tahu kebenaran dan keakuratan dari informasi tersebut.
Ada 4 (empat) pilar penting di era Digital yang harus dipahami yaitu Cakap Bermedia Digital, Budaya Bermedia Digital, Aman Bermedia Digital dan Etis Bermedia Digital.
Cakap Bermedia Digital adalah kemampuan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan bijak melalui media digital. Ini mencakup ketrampilan dalam menggunakan media sosial, berbagi informasi dan berpartisipasi dalam diskusi online.
Budaya Bermedia Digital mencakup pemahaman tentang norma-norma dan etika dalam bermedia digital. Termasuk didalamnya juga bagaimana menghormati privasi orang lain dan berperilaku sopan dalam ruang digital.
Aman Bermedia Digital, yang menekankan akan pentingnya keamanan dalam bermedia digital, termasuk cara melindungi diri dari ancaman siber, mengenali phishing dan menjaga data pribadi agar tetap aman dalam lingkungan digital yang rentan terhadap risiko keamanan.
Terakhir, Etis Bermedia Digital adalah tentang bertindak dengan integritas dan etika saat berinteraksi dalam dunia digital yang mengglobal.
Contoh penggunaan literasi Digital antara lain;
• Literasi digital di sekolah
1. Komunikasi dengan guru atau teman menggunakan media sosial.
2. Mengirim tugas sekolah lewat e-mail.
3. Pembelajaran dengan cara online, yakni lewat aplikasi ataupun web.
4. Mencari bahan ajar dari sumber terpercaya di internet.
• Literasi digital di rumah
1. Melakukan penelusuran dengan menggunakan browser.
2. Mendengarkan musik dari layanan streaming resmi.
3. Melihat tutorial memasak dari internet.
4. Menggunakan laptop yang tersambung ke internet untuk mengerjakan tugas atau pekerjaan.
• Literasi digital di lingkungan masyarakat
1. Menggunakan media internet untuk menggalang dana atau donasi.
2. Penggunaan media sosial untuk sarana promosi penjualan.
3. Memakai aplikasi meeting untuk rapat RT.
4. Menggunakan grup di media sosial untuk menyebarkan informasi yang tepat dan kredibel.
Ditelaah lebih jauh dengan menggunakan pendekatan Teori Antonio Gramsci tentang hegemoni, ia memberikan pandangan yang mendalam tentang kompleksitas interaksi sosial, kekuasaan, dan budaya. Gramsci telah memberikan landasan teoretis untuk memahami dinamika sosial dan perubahan dalam masyarakat.
Hegemoni menurut Gramsci adalah sebuah konsensus dimana ketertundukan diperoleh melalui penerimaan ideologi kelas yang menghegemoni oleh kelas yang terhegemoni.
Dan menurut Simon (1999) hegemoni adalah sarana untuk memahami masyarakat dengan tujuan untuk mengubahnya. Tujuan dari adanya hegemoni adalah menarik perhatian masyarakat atau mengarahkan pada hal-hal yang difokuskan oleh sang penguasa.
Dengan demikian kita sebagai pengkonsumsi berita-berita, sudah seharusnya untuk berfikir skeptis, kritis, dan komparatif sebagai bentuk waspada kita agar tidak taklid buta, dan tentu dibarengi dengan sikap hati-hati dengan menyaring berita sebelum menyebar berita yang kebenarannya masih diragukan dan bisa berdampak fitnah.
John Dewey mengingatkan kita sebagai Pembelajar, dituntut untuk mengkonstruksi, merekonstruksi, dan mendekonstruksi pandangan kita, bahasa yang kita gunakan, teks dari media-media yang kita baca atau di era sekarang gambar yang kita lihat di media online (youtube, tik tok, dll). Semua itu dijadikan bahan pembelajaran dan penting sekali untuk dicerna kembali lebih mendalam, bukan ditelan mentah-mentah tanpa swasensorship objektif komparatif.
Kita semestinya menyadari bahwa era online ini semuanya mudah dan terbuka menghegemoni alam pikir bahkan bawah sadar kita, untuk mengamini, bersepakat atau tidak bersepakat dengan narasi-narasi yang mengemuka di berbagai media.
Sebagaimana disampaikan penulis di Resonansi Media KBA News bahwa Kita semua makhluk yang berfikir, penting untuk berhati-hati dalam berkesimpulan dan sudah semestinya memahami teks dan kontek wacana yang berkembang di media, agar tidak terjerumus dalam kesesatan berfikir, kekerasan bahasa dan arogansi tindakan.
Maka mari bijak mengkonsumsi dan memahami wacana agar menghasilkan pemahaman yang lebih bermutu (mutual understanding). Sehingga pernyataan pernyataan kita objektif menalar dan tidak sinis menjudmen bahkan menimbulkan perpecahan masyarakat yang masih dalam situasi lemah referensi, malas bernalar dan mudah terprovokasi. (Syamsul Maarif: edisi Desember 2023)
Akhirnya izinkan kami mengutip Firman Allah, SWT berikut ini sebagai renungan kita semua.
“Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang fasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian. (QS. Al Hujarat: 6).
Semoga bermanfaat, Amin Ya Rabbal Alamin. (**)