Bermain merupakan kebutuhan mendasar anak dalam memahami dunia. Jean Piaget, psikolog perkembangan ternama, menyebut bermain sebagai wahana utama anak membangun struktur kognitifnya. Melalui permainan, anak tidak hanya bersenang-senang, melainkan juga belajar mengamati, meniru, memecahkan masalah, dan mengembangkan logika.
Lev Vygotsky melangkah lebih jauh. Ia mengemukakan bahwa bermain menempatkan anak dalam “zona perkembangan proksimal”—wilayah di mana anak mampu mencapai keterampilan baru melalui interaksi sosial dan bimbingan teman sebaya. Dalam permainan seperti gobak sodor, petak umpet, atau engklek, anak belajar negosiasi, kerja sama, serta memahami aturan sosial yang kompleks.
Namun, di era digital ini, permainan tradisional perlahan bergeser. Anak-anak kini lebih akrab dengan layar gadget ketimbang lapangan terbuka. Transformasi ini tak sepenuhnya keliru. Teknologi, jika digunakan secara tepat, bisa menjadi sarana pendidikan yang luar biasa. Sherry Turkle, profesor MIT, dalam bukunya Alone Together (2011) menyebut bahwa teknologi digital memperluas kesempatan belajar, namun juga membawa risiko “isolasi sosial dalam keterhubungan semu.”
Anak-anak yang terlalu sering terpapar gadget tanpa pendampingan cenderung mengalami penurunan kemampuan interaksi nyata. Dr. Dimitri Christakis, direktur Center for Child Health, Behavior, and Development di University of Washington, menemukan bahwa penggunaan media digital berlebihan pada usia dini berkorelasi dengan gangguan atensi, keterlambatan bicara, serta penurunan keterampilan sosial.
Di sisi lain, bermain fisik tetap menjadi kebutuhan biologis anak. Dr. Stuart Brown, pendiri National Institute for Play, menyatakan bahwa permainan aktif “merangsang otak anak untuk berkembang lebih adaptif, kreatif, dan resilien.” Ia menegaskan bahwa anak yang kekurangan aktivitas bermain fisik cenderung tumbuh dengan kapasitas sosial dan emosional yang lebih rapuh.
Permainan tradisional Indonesia, seperti congklak, lompat tali, atau kelereng, memiliki kekayaan tersendiri. Selain mempererat hubungan sosial, permainan ini juga mengenalkan nilai budaya lokal yang membentuk identitas anak. Lewat permainan tersebut, anak belajar nilai kejujuran, sportivitas, ketahanan menghadapi kegagalan, serta kegembiraan dalam kebersamaan.
Maka, tugas kita sebagai orang tua, pendidik, dan masyarakat adalah menciptakan keseimbangan. Teknologi tetap perlu diperkenalkan, tetapi dalam porsi dan bimbingan yang tepat. American Academy of Pediatrics merekomendasikan waktu layar maksimal satu jam per hari untuk anak usia 2–5 tahun, dengan konten yang edukatif dan interaktif.
Di sisi lain, ruang untuk bermain fisik dan permainan tradisional harus terus dihidupkan. Membuat waktu keluarga tanpa gadget, menghidupkan kembali permainan rakyat di sekolah, dan menyediakan ruang publik yang aman untuk bermain adalah langkah konkret yang bisa dilakukan.
Generasi masa depan membutuhkan keterampilan digital untuk bertahan, tetapi mereka juga membutuhkan ketangguhan emosional, kreativitas, dan kecintaan pada budaya sendiri. Semua itu dibangun, bukan dari layar, melainkan dari pengalaman nyata, tawa, kegagalan, dan keberhasilan yang ditemukan dalam dunia bermain.
Membiarkan anak tenggelam dalam dunia digital tanpa keseimbangan berarti merampas kesempatan mereka untuk tumbuh utuh sebagai manusia. Sebaliknya, menghidupkan kembali permainan tradisional sambil memperkenalkan teknologi secara sehat adalah investasi bagi masa depan bangsa. **
Oleh: Robiatul Adawiyah (Guru RA Al Rahmah, Danawarih)