TEGAL, smpantura – Siapa sangka, kue kering yang sekilas mirip bakpia ini menyimpan sejarah panjang dan nilai budaya yang kental. Namanya latopia, camilan khas Kota Tegal yang mulanya dikenalkan oleh warga keturunan Tionghoa dan kini telah menjelma menjadi oleh-oleh ikonik yang diburu banyak orang dari berbagai daerah, bahkan hingga mancanegara.
Latopia bukan sekadar kue, tapi juga bagian dari tradisi. Dulu, kue ini disuguhkan saat perayaan Imlek sebagai lambang kebahagiaan dan keberkahan. Namun kini, latopia telah menembus batas budaya dan menjadi bagian dari identitas kuliner Tegal. Salah satu nama besar di balik eksistensi kue ini adalah Pia Argasari.
Didirikan pada 1970 oleh Ibu Arga, seorang warga keturunan Tionghoa, usaha rumahan ini berkembang dari dapur kecil menjadi usaha keluarga yang dikelola turun-temurun. Kini, Pia Argasari telah dijalankan oleh generasi keempat, Tiara Sartika.
Ia meneruskan usaha yang dirintis buyutnya, dilanjutkan oleh neneknya, Ibu Trasnani (Liao Tjioe Bwee), kemudian orang tuanya, Tafrianto (Tan Biauw Som) dan istrinya.
Ditemui di toko pusat Pia Argasari yang terletak di Jalan Gurami, Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, Tiara mengisahkan, “Dulu belum ada nama untuk usaha ini, hanya rumah kecil yang menjajakan kue kering. Baru tahun 2005 kami punya toko dan menetapkan nama Pia Argasari.”
Bahkan, kue latopia dulunya hanya dipasarkan di wilayah Tegal dan sekitarnya saja. Namun, oleh generasi kedua saat itu, latopia mulai banyak dibawa ke sanak saudara dan kerabat sebagai bingkisan.
Bingkisan yang di bawa ke berbagai kota itu rupanya mendapat sambutan baik, hingga pada akhirnya kue latopia banyak dititipkan ke berbagai toko di Indonesia.
“Awalnya kue ini jadi oleh-oleh saat berkunjung ke saudara. Tetapi karena banyak yang cocok dan suka, akhirnya mulai dititipkan ke toko-toko oleh kakek saya. Hingga sekarang ini latopia menjadi oleh-oleh khas Tegal,” jelasnya.
Latopia khas Pia Argasari hadir dalam berbagai varian rasa. Mulai dari rasa klasik seperti kacang hijau, cokelat, dan susu, hingga rasa kekinian seperti kopi, ovaltine, green tea, durian, kopyor, dan oreo.
Berbicara harga, sopia dari Pia Argasari dibanderol mulai Rp 8.500 per biji untuk rasa gula aren, Rp 12.500 untuk rasa keju dan sopia spesial dibanderol Rp 9.500.
Sedangkan latopia biasa dijual Rp 6.500 per biji dan latopia spesial dijual Rp 8.500. Khusus untuk latopia durian, Pia Argasari menjualnya seharga Rp 14.500 per biji dan latopia kopyor Rp 16.500.
Ciri khas latopia Tegal terletak pada teksturnya yang kering dan ukurannya yang relatif lebih besar dibanding bakpia Jogja. Berkat kekeringannya itu pula, latopia mampu bertahan hingga lebih dari satu minggu. Sementara kue sopia (versi kering tanpa isian dari latopia) justru bisa tahan hingga dua minggu.
“Latopia itu padat karena ada isiannya. Kalau sopia itu kopong, tapi kulitnya kami inovasi dengan varian rasa juga, seperti gula aren, keju, dan kacang hijau,” ungkap Tiara.
Meski zaman terus berubah dan teknologi makin canggih, Pia Argasari tetap mempertahankan tradisi dalam proses produksinya. Tiara menegaskan, pembuatan latopia masih dilakukan secara hand made, khususnya dalam proses pembentukan adonan.
“Adonan dan isian boleh pakai mesin, tapi membentuk latopia tetap pakai tangan. Itu yang kami jaga sampai sekarang,” katanya.
Pia Argasari kini memiliki cabang di Jalan Veteran, Mintaragen, tepat di samping Kelenteng Tek Hay Kiong, menjangkau pelanggan yang ingin lebih mudah mendapatkan latopia dan sopia.
Kisah latopia bukan sekadar perjalanan kuliner, tetapi juga cerita tentang warisan budaya, inovasi, dan ketekunan keluarga yang menjaga cita rasa dan nilai tradisional.
Dari rumah kecil hingga meja oleh-oleh, latopia telah menjadi bukti bahwa kekayaan rasa bisa bertahan melewati waktu, apalagi jika diracik dengan hati. **