Optimisme Pakeliran Di Tangan Dalang Cilik

SMPANTURA “Dok… dok dok dok!Dok! Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap katon lir kincanging alis, ong …..”, gedog dan suluk mulai terdengar dari mulut seorang dalang kecil yang diiringi lantunan gamelan dari para wiyogo. Malam itu pertunjukan wayang kulit dengan lakon Bima Suci, yang dimainkan oleh siswa kelas 5 Sekolah Dasar mulai digelar. Penonton berjajar duduk menunggu sang dalang kecil memainkan para wayangnya yang sudah ditata rapi dikelir (red: layar pertunjukan).

Sosok dalang kecil tersebut bernama Narendra Hang Eshan yang bersemangat untuk selalu belajar seni pedalangan. Meskipun masih pemula, tangannya yang kecil sudah terampil memainkan wayang-wayangnya di depan kelir saat mendalang. Saat mengenakan pakaian adat Jawa yang lengkap, sang dalang nampak berwibawa layaknya dalang terkenal.

Naren, panggilan akrab dari Ki dalang kecil, mulai menggeluti seni pedalangan atau pakeliran sejak usia lima tahun hingga sekarang. Hal yang mendasarinya untuk belajar dalang salah satunya kecintaannya terhadap seni wayang kulit, yang dikenalkan ayahnya saat usia dini.

“Saya sejak kecil sudah suka wayang kulit, karena dari kecil sering diajak nonton pertunjukkan wayang bersama ayah. Bahkan waktu saya minta dibelikan wayang kulit, ayah langsung membelikannya walaupun hanya wayang kardus,” ujar Ki dalang yang bersekolah di SDN 1 Kebondalem.

Dunia pedalangan seolah mengispirasi dan meracuni jiwanya yang masih mudah untuk selalu belajar, berkreasi dalam pakeliran. Bahkan diera digital ini, belajar mendalang dijadikan sebagai hiburan layaknya seperti maen game digadgetnya. Dalang kecil ini berpedoman bahwa memegang wayang bukanlah hal yang kuno dijaman moderen ini, tetapi langkah nyata untuk melestarikan budaya Jawa yang adi luhung.

“Naren sama seperti anak kecil pada umumnya, yang suka maen gadget dengan berbagai macam permainan. Namun saat bermain gadget selalu diselipkan untuk menonton wayang kulit melalui chanel you tube, maupun media sosial lainnya,” jelas Joko Widodo ayah dari Narendra Hang Eshan.

Joko mengungkapkan, kemajuan teknologi digital memudahkan semua orang untuk bisa mengakses berbagai kebutuhan. Begitu juga teknologi menjadi salah satu peradaban moderen yang harus disikapi dengan bijaksana. Permainan game di gadget selalu membayangi mereka dalam memelihara konsistensi di jalur seni tradisi. Kehadiran dan kecintaan para dalang anak ini seperti melawan terpaan zaman yang mengharuskan beradaptasi melalui banyak inovasi.

Namun dengan adanya minat anak untuk menjadi dalang, sedikit banyak memberi nafas lega, sebab dirinya optimis dunia pakeliran atau pedalangan masih terus lestari. Meskipun masih taraf belajar, Naren sudah sembilan kali tampil dihadapan masyarakat. Berbagai lakon pewayangan khususnya cerita cerita Mahabarata sudah disajikan baik dalam acara resmi maupun acara santai. Beberapa lakon yang sudah ditampilkan antaralain, Babat Alas Wonomarto, Bimo Bungkus, Bimo Suci, Semar Mbangun Desa, dan Semar Ngawasi Pilkada.

BACA JUGA :  Suci Rahayu Kebanjiran Pesanan Sagon Hingga Ratusan Toples

Khusus lakon Semar Ngawasi Pilkada merupakan cerita hasil kreasi sendiri, sebab ada permintaan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Pemalang untuk memberikan sosialisasi pengawasan Pilkada tahun 2024 lalu. Untuk terus mengasah kemampuan mendalangnya, Ki Naren saat ini didampingi pelatih yang kompeten dari Sanggar Seni Roda Kendali Mengori, dibawah asuhan Ki Marsudi Wahyu Nugroho, Sekretaris Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Pemalang.

“Naren ini salah satu anak yang mempunyai bakat dan potensi besar dalam dunia pedalangan, meskipun tidak berasal dari keluarga dalang. Semangat untuk belajar sangat kuat, dan cukup mudah menyerap materi yang saya sampaikan,” imbuh Ki Marsudi Wahyu Nugroho.

Ia mengatakan, naren sekarang ini terus berlatih suluk atau cengkok, sabetan atau menggerakkan wayang hingga dialog tokoh wayang atau dalam istilah pedalangan disebut ontowecono, ia juga diajari dasar-dasar untuk menjadi seorang dalang. Suaranya dilatih agar pelafalan bahasa Jawanya tidak lagi kerap bercampur dengan logat bahasa Indonesia. Sedari kecil ia memang berkomunikasi dengan ibunya menggunakan bahasa Indonesia.

Sehingga, Naren masih merasa kesulitan membedakan pelafalan e, é, ê dan o dalam bahasa Jawa. Cengkoknya pun masih terus diasah. Saat ia belajar titi laras dan teknik nancep wayang, ia cukup terampil. Saat pelatihnya melihat potensi dan karakter Naren yang unik, penyampaian ceritanya tidak membosankan sebab ia sering menyisipkan humor segar yang menghidupkan suasana.

Jadi, sebagai generasi muda di era globalisasi seperti sekarang ini, kita banyak menemukan banyak tantangan cukup menarik perhatian. Namun, keberadaan seni pedalangan dan seni pertunjukan tidak boleh hilang seiring perkembangan zaman. Budaya Indonesia sangat beragam. Salah satunya seni pedalangan dan seni pertunjukan wayang kulit.

Di era modernisasi sekarang, giat kita sebagai generasi muda yang berkarakter, kreatif, kritis, peduli, serta inovatif adalah melestarikan budaya Indonesia melalui pendekatan secara langsung dan pendekatan persuasif. Tidak hanya dari peran orang tua, masyarakat, kita pun harus ikut andil dalam melestarikannya dengan cara mengikuti giat ekstrakurikuler karawitan maupun membagikan konten seni tradisional melalui peran media sosial. **

error: