Buku karya Ellen Dunham dan June Williamson ini mengajarkan, berbasis riset dan pengalaman mereka, untuk melakukan retrofitting pada wilayah suburbia sebelum terlambat karena pemanfaatan ruang di pinggir kota yang tidak terkendali. Essensi buku ini mirip seperti yang pernah saya tulis tentang perkembangan dan evolusi Mejasem dari mulai sebuah cluster “RSS” berbentuk deretan rumah koppel, hingga sekarang meluas sampai desa Wangandawa, Pacul, bahkan Kaligayam. Laju perkembangan wilayah permukiman yang sangat cepat, tanpa diimbangi laju infrastruktur dan ruang publik serta jaringan jalan yang memadai.
Retrofit dalam Oxford Advance Learner’s Dictionary maknanya~An act of supplying a device, structure, etc., with new components or parts that were not previously available or installed; a retrofitting. A change made to a device, structure, etc., by introducing components or parts that were not previously available or installed~, dengan suatu tindakan perubahan dengan menambahkan sesuatu yang baru dalam struktur (ruang kota).
Dengan melakukan “iterasi” dari jalan inspeksi sungai Kemiri ke arah utara dan berbelok ke arah kiri hingga sungai Gangsa, maka akan terlihat pola lompat katak (Frog Leap) pembangunan perumahan penduduk. Sebuah institusi pendidikan tinggi juga membentuk cluster tersendiri sebagai gated campus atau kawasan yang dibatasi pintu gerbang kompleks. Ellen dan June, para penulis buku, banyak melakukan riset dan memberi solusi pada apa yang mereka sebut sebagai “instant city” alias “Kota Dadakan” yang terbangun tanpa perencanaan resmi yang memadai.
Back to Basic, kembali menulis tentang Kota. Tentang bagaimana Urban Design (Perancangan Kota) memberi solusi pada ketimpangan wajah kota antara Pusat Kota dan Peri-Urban atau pinggir kota (City Edge). Ellen dan June dengan buku mereka Retrofitting Suburbia memberi banyak contoh kasus bagaimana kota-kota “menghidupkan” bagian kota tertentu yang sepi, tertinggal, atau ditinggalkan penghuni lamanya.
Retrofitting juga mengingatkan perdebatan antara Dedi Yon sebagai Petahana yang mendapat kritik dari kompetitornya Edi Suripno dan Faruq Ibnul Haqi tentang ketimpangan pembangunan Tegal Timur sebagai Pusat Kota dengan Tegal Selatan dan Margadana. Kritik ini tidak dijawab secara detail dan spesifik oleh Dedi Yon, selain mengatakan sudah membangun infrastruktur di Tegal Selatan dan Margadana. Dedi Yon tetap pada pendiriannya bahwa membangun Pusat Kota mendorong perekonomian kota untuk berkembang.
Apabila Dedi Yon resmi terpilih kembali (saat ini sudah terpilih kembali untuk periode kedua sebagai Walikota Tegal), maka sulit diharapkan dia akan berkonsentrasi membangun dua kecamatan yang dianggap oleh dua kompetitor pilkadanya, sebagai timpang dan tertinggal. Dedi tetap akan focus pada pembangunan Tegal Timur dan sebagian Tegal Barat sebagai Pusat Kota dan Sub Pusat Kota. Dua hal yang dapat menjelaskan prediksi ini. Pertama, Rencana Detail Tata Ruang Kota yang sudah ditetapkan sulit direvisi dalam waktu singkat, dengan Kecamatan Tegal Timur sebagai pusat kota. Kedua, secara politik “kemajuan” wajah kota di Pusat Kota akan menjadi icon of political legacy keberhasilan dua periode Walikota Dedi Yon. Kecamatan Tegal Selatan dan Margadana masih harus bersabar menunggu giliran pengembangan wilayahnya. Tentu saja prediksi ini bisa tidak tepat, jika pada periode kedua Dedi Yon melakukan perubahan RDTRK dan orientasi kewilayahan kebijakan pembangunannya.
Urban retrofitting dapat dilakukan dengan Public-Privat-Partnership (PPP). Karena banyak dari gedung dan lahan yang kosong merupakan aset properti swasta. Pemkot Tegal melakukan kerjasama dengan Pemprov Jawa Tengah dalam pemanfaatan lahan eks pabrik tegel selatan alun-alun dan BUMN yang ada di Kota Tegal, misalnya. Pola kerjasama semacam ini juga dapat melibatkan swasta pemilik aset properti yang tidak aktif, jika pemkot ingin melakukan urban retrofitting di pusat kota dan pengembangan suburbia guna membangun city edge sebagai business hub baru di pinggir kota.
“Koridor Jalan Mataram”
(Tegal City Edge)
Koridor berasal dari bahasa Inggris corridor yang maknanya, antara lain, the land near an important road, river, railway line. Lahan di dekat jalan utama. Dalam pengertian Perancangan Kota (Urban Design), koridor jalan (street corridor) meliputi badan jalan dan di sekitar (beyond) badan jalan. Jadi koridor jalan bukan hanya jalan yang dilalui kendaraan saja (carriage way) atau pavement saja. Lahan di kanan-kiri jalan merupakan bagian dari koridor jalan.
Dengan arah sumbu jalan Selatan-Utara, maka jalan Mataram dapat didesain sebagai City Edge atau Batas Kota yang pertama dilihat oleh pengunjung kota Tegal dalam perjalan dari barat ke timur. Sebuah Sub-Pusat Kota di batas barat Kota Tegal. Kondisi visual yang terlihat kini (existing) masih memiliki karakteristik pinggir kota yang mulai terbangun secara acak (frog leap), sehingga perlu ditangani sebelum terlambat. Sebagian besar wilayah pinggir kota bagian barat Kota Tegal merupakan Brown Area (daerah yang belum tertata dan sebagian terlihat kumuh).
Persimpangan antara jalan dr Wahidin dan jalan Mataram dapat difungsikan sebagai Node dan awalan (begining) memasuki koridor jalan Mataram. Pada tahap pertama perancangan, persimpangan by pass Jalingkut dan koridor jalan Mataram juga sebagai Node dan akhiran (ending) koridor jalan. Dari kondisi existing koridor yang sebagian masih merupakan brown area, maka perlu dilakukan penataan sesuai Rencana Detail Tata Ruang Kota dan disusun konsep desain tata lahan dan sosok bangunan secara tiga dimensi.
Dari awalan selatan koridor ke arah utara sudah terdapat bangunan masjid dan kampus Poltek Harber yang dapat direncanakan untuk membentuk garis langit (skyline) sisi barat koridor jalan Mataram yang masih harus terus dikembangkan ke arah utara hingga perempatan jalan Mataram-Jalingkut sebagai akhiran koridor jalan dan Node. Jika “mimpi” koridor jalan Mataram sebagai City Edge terwujud, maka Kota Tegal tidak hanya punya Sub Pusat Kota baru sebagai City Image saja, tetapi juga mimpi pemerataan keramaian di Kecamatan Margadana juga dapat diwujudkan.
Banyak elemen dan infrastruktur perkotaan yang dapat ditempatkan di koridor jalan Mataram, seperti, deretan apartemen rusanawa/rusunami, food court, playing ground, city garden, landmark, pasar modern, dan street marchant kiosks (semacam kompleks PKL yang tertata). Dalam jumlah terbatas Mall sebagai activity support bagi pengunjung koridor jalan Mataram juga diperlukan, sehingga tercipta citra kawasan yang modern.
(Abdullah Sungkar, Kota Tegal)