Oleh : M. Ali Ghozi
Dua peristiwa besar tengah menjadi sorotan publik Indonesia tahun ini: skandal korupsi pengadaan minyak mentah di Pertamina dan peluncuran Dana Anagata Nusantara (Danantara) sebagai lembaga investasi strategis nasional.
Di satu sisi, publik dikecewakan oleh penyalahgunaan kekuasaan di tubuh BUMN energi. Di sisi lain, ada optimisme akan kebangkitan ekonomi lewat pengelolaan investasi berskala raksasa. Namun di balik semua itu, muncul satu benang merah yang tak boleh diabaikan: dilema moral dalam tata kelola negara.
Skandal Pertamina: Ujian Etika dalam Kekuasaan Kasus dugaan korupsi di Pertamina diperkirakan menimbulkan kerugian negara hingga Rp193,7 triliun.
Berdasarkan temuan Kejaksaan Agung, sejumlah pelanggaran dilakukan dalam proses impor minyak mentah, mulai dari pengabaian prinsip tata kelola hingga dugaan mark-up harga. Skandal korupsi di tubuh Pertamina bukan sekadar pelanggaran hukum—ia adalah pengkhianatan terhadap etika publik.
Dengan estimasi kerugian negara yang sangat besar, kasus ini mencerminkan kerusakan sistemik dalam tata kelola salah satu BUMN paling strategis di negeri ini.
Namun yang mencemaskan bukan hanya nilai kerugiannya, melainkan bagaimana praktik semacam ini bisa berlangsung selama bertahun-tahun di tengah jargon reformasi dan efisiensi.
Dalam situasi ketika pemerintah menggaungkan efisiensi anggaran melalui Inpres No. 1 Tahun 2025, kebocoran sebesar ini justru menjadi ironi pahit. Negara bersusah payah menghemat Rp306 triliun, tapi di sisi lain, tata kelola yang rapuh menguapkan triliunan rupiah dari kekayaan rakyat.
Kasus Pertamina harus menjadi momentum koreksi menyeluruh, tidak hanya dari sisi hukum, tetapi juga etika. Karena di negara yang sehat, kepercayaan publik tak boleh diperdagangkan demi keuntungan segelintir elite.
Secara moral, tindakan ini merupakan pelanggaran berat dari prinsip utilitarianisme yang menuntut agar tindakan pemerintah memberi manfaat terbesar bagi masyarakat luas.
Korupsi yang menguntungkan segelintir orang namun merugikan rakyat banyak—termasuk dengan hilangnya subsidi dan naiknya harga energi—jelas tidak etis.
Lebih dalam, pendekatan hak dan kewajiban menekankan bahwa pejabat publik berkewajiban bertindak jujur dan menghormati hak rakyat atas pengelolaan keuangan negara yang transparan. Dalam hal ini, skandal Pertamina mencederai kepercayaan publik dan melanggar hak moral masyarakat.
Danantara: Harapan Pertumbuhan atau Reproduksi Ketimpangan?
Sementara itu, pembentukan Danantara yang ditargetkan mengelola hingga Rp1.000 triliun dana investasi menimbulkan optimisme sekaligus kewaspadaan.
Tujuan resminya terkesan menjanjikan: mempercepat transformasi ekonomi melalui investasi di sektor strategis seperti energi terbarukan, teknologi kecerdasan buatan (AI), pengolahan logam tanah jarang, hingga penguatan rantai pasok nasional.
Pemerintah menyebut Danantara sebagai upaya menjawab kebutuhan pembangunan jangka panjang tanpa membebani APBN secara langsung.
Namun, di balik visi besar itu, sejumlah pengamat menyuarakan kekhawatiran serius. Salah satu isu utama adalah kurangnya transparansi dan akuntabilitas publik dalam desain kelembagaan Danantara.
Tidak seperti badan usaha milik negara pada umumnya, Danantara beroperasi dengan struktur semi-otonom yang memiliki ruang keleluasaan dalam pengambilan keputusan investasi, namun minim pengawasan legislatif dan sipil secara langsung.
Pertanyaan juga muncul mengenai siapa yang akan benar-benar diuntungkan oleh kehadiran Danantara. Apakah lembaga ini akan memperluas kesempatan ekonomi bagi rakyat kecil, atau justru menguntungkan elite korporasi dan mitra investor besar? Jika tidak dikelola dengan prinsip keadilan distribusi dan keberpihakan terhadap sektor riil yang inklusif, maka Dana Danantara berisiko menjadi instrumen reproduksi ketimpangan baru.
Dari sudut pandang etika kebijakan publik, lembaga sekelas Danantara menuntut pertanggungjawaban moral yang tinggi.
Investasi bukan hanya soal angka dan pertumbuhan, tetapi juga soal dampak nyata terhadap kesejahteraan masyarakat. Tanpa prinsip tata kelola yang berlandaskan transparansi, akuntabilitas, dan keadilan sosial, ambisi besar seperti Danantara dapat berubah menjadi beban baru yang justru menjauhkan negara dari cita-cita kesejahteraan bersama.
Jika dilihat dari perspektif utilitarian, Danantara bisa menjadi alat pembangunan yang memberi manfaat luas bila pengelolaannya efektif dan berpihak pada sektor publik.
Namun, jika manfaat ekonomi hanya terkonsentrasi pada elite bisnis atau proyek yang tidak menyentuh kebutuhan rakyat, lembaga ini bisa menjadi simbol ketimpangan baru.
Dalam pandangan teori keadilan John Rawls, lembaga seperti Danantara harus memastikan bahwa ketimpangan yang muncul harus bisa dibenarkan karena memberi keuntungan kepada kelompok paling rentan. Jika tidak, ia gagal secara moral.
Tantangan Moral Bersama: Transparansi dan Keadilan Dua kasus ini, meski berbeda dalam sifatnya, menunjukkan perlunya prinsip etika sebagai fondasi tata kelola. Pemerintah telah mengeluarkan Inpres No. 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran sebesar Rp306 triliun. Namun efisiensi tanpa integritas dan keadilan hanya akan memperparah krisis kepercayaan publik.
Dalam kasus Pertamina, penguatan pengawasan dan reformasi tata kelola BUMN adalah keharusan. Sedangkan untuk Danantara, keterbukaan data, partisipasi masyarakat sipil, dan evaluasi independen menjadi kunci agar lembaga ini tidak melenceng dari tujuan publik.
Etika bukan pelengkap, melainkan fondasi utama dalam penyelenggaraan negara. Seberapa besar pun anggaran dan target pertumbuhan ekonomi, jika tidak disertai dengan komitmen terhadap nilai-nilai keadilan, transparansi, dan kepentingan umum, maka negara justru sedang membangun istana di atas pasir. (**)
Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Jenderal Soedirman