SEMARANG, smpantura – Muktamar ke-10 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang dijadwalkan berlangsung pada 27–29 September mendatang dinilai sebagai momentum krusial yang akan menentukan arah masa depan partai. Di tengah tantangan elektoral dan konflik internal, forum ini akan menjadi penentu apakah PPP mampu bangkit atau justru semakin tergerus dari panggung politik nasional. Nasib partai berlambang Kabah itu kini berada di tangan para pemilik suara yang akan memilih pucuk kepemimpinan baru.
Dosen Departemen Politik Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro (Undip), Wahid Abdulrahman, menyampaikan, demikian bukannya tanpa alasan. Ia mencatat, dalam sejarah pemilu di Indonesia belum ada partai politik yang mampu kembali ke parlemen “reborn“ setelah sebelumnya gagal karena tidak lolos parliamentary threshold.
Kekhawatiran akan kepunahannya semakin logis ketika mencermati dinamika perolehan suara dari pemilu ke pemilu. Dalam tiga pemilu terakhir PPP mengalami penurunan suara yang signifikan. Pada Pemilu 2014, PPP memperoleh 8.152.957 suara (6,53%), menurun pada Pemilu 2019 menjadi 6.323.147 (4,52%), dan pada Pemilu 2024 menjadi 5.878.777 (3,87%).
Menggunakan pendekatan teori pelembagaan partai politik, penurunan signifikan yang terjadi di PPP dalam tiga pemilu terakhir disebabkan oleh faktor internal yakni kegagalan dalam mengelola konflik. Mulai dari dualisme kepengurusan hingga kristalisasi persaingan antar faksi menjelang pemilu 2024.
“Faktor tersebut diperparah dengan kegagalan PPP dalam menjaga basis pemilih tradisional sementara pada saat yang sama kurang cakap dalam merespon perubahan demografi pemilih serta ketidakcermatan membaca arah politik nasional,” kata Wahid, Rabu 24 September 2025.