GAYA “sat-set” dan “gaspol” yang di gaungkan Bupati Purbalingga, Fahmi Muhammad Hanif kini di uji keras. Baru beberapa bulan menjabat, Fahmi dan wakilnya Dimas Prasetyaningrum sudah di kepung berbagai persoalan: infrastruktur rusak, fiskal seret, dan dinamika politik yang mulai memanas. Janji membangun Purbalingga secara kolaboratif dan inovatif memang terdengar segar. Namun di lapangan, realitas tak semulus visi. Banyak proyek besar menunggu, tapi anggaran daerah terbatas, sementara publik menuntut hasil cepat.
Infrastruktur Bolong, Anggaran Seret
Salah satu tantangan paling nyata adalah kondisi jalan kabupaten yang rusak. Data Pemkab menunjukkan, lebih dari 300 kilometer ruas jalan perlu perbaikan. Program unggulan “Alus Dalane, Kepenak Ngodene” yang di gadang-gadang menjadi simbol pembangunan rakyat kecil, kini harus berpacu dengan keterbatasan dana.
“Anggaran kita terbatas, tapi tuntutan masyarakat tinggi. Kami harus kreatif mencari solusi dan sumber pembiayaan lain,” kata Fahmi dalam Musrenbang Kabupaten 2025.
APBD Purbalingga tahun ini tercatat sekitar Rp 2,1 triliun, dengan ruang fiskal murni yang relatif sempit. Artinya, tak semua janji bisa langsung direalisasikan dalam waktu dekat. Pemerintah daerah kini berupaya menggandeng provinsi, kementerian, dan pihak swasta untuk menutup celah pembiayaan. Masalah lain yang tak kalah pelik adalah pengelolaan sampah. Kapasitas TPA Kalipancur disebut hampir penuh, mendorong Pemkab meluncurkan program “Keping Emas” (Kelola Sampah Purbalingga Emas). Namun, tanpa dukungan serius dari masyarakat dan sistem pengelolaan terpadu, ancaman krisis sampah bisa jadi bom waktu baru.