KBP Dwi Agus Prianto Raih Gelar Doktor Ilmu Hukum

JAKARTA, smpantura – Komisaris Besar Polisi (KBP) Dwi Agus Prianto, berhasil meraih gelar Doktor Ilmu Hukum, Universitas Jayabaya Jakarta dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,90 dengan predikat cumlaude.

Acara yudisium diselenggarakan di Ruang Sidang/Ruang Yudisium Gedung Rektorat Lantai V Program Pascasarjana Universitas Jayabaya, Jakarta, Jumat (10/3) pukul 16.00.

Yudisium yang dipimpin Rektor Universitas Jayabaya, Prof H Amir Santoso, turut dihadiri Direktur Program Pascasarjana, Dr H Yuhelson, Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum, Prof Dr Fauzie Yusuf Hasibuan, Wakil Direktur I Program Pascasarjana, Dr Ramlani Lina Sinaulan, dan Sekretaris Program Studi Doktor Ilmu Hukum, Dr Maryano.

Dalam yudisium tersebut, delapan mahasiswa lulus Program Doktor Ahli Hukum. KBP Dwi Agus Prianto menempuh program Doktor Ilmu Hukum selama enam semester atau tiga tahun.

Perwira menengah yang pernah bertugas sebagai Kepala Kepolisian Resor Tegal dan kini menjalani tugas di Badan Intelijen Negara (BIN), menyusun disertasi berjudul, Formulasi Penundaan Penanganan Perkara Pidana Dalam Sengketa Prayudisial Untuk Mewujudkan Kepastian Hukum, dengan dipromotori oleh Prof. Dr. Fauzie Yusuf Hasibuan.

Dalam paparan singkatnya, Dwi Agus Prianto menyebut, perkara yang memuat prayudisial geschil terdapat perlakuan penanganan yang berbeda antara perkara satu dengan lainnya, tidak ada keseragaman dan kepastian hukum dalam penanganan prayudisial geschil.

Dampaknya banyak aduan dan komplain dari masyarakat, karena merasa diperlakukan tidak adil serta tidak mendapat perlindungan hukum.

Dalam beberapa literatur dan yurisprudensi putusan peradilan, banyak sekali argumentasi para pihak berperkara yang mendalilkan bahwa, perkara yang dihadapinya seharusnya tidak diperiksa terlebih dahulu dalam lingkup peradilan pidana, melainkan harus diperiksa di peradilan perdata terlebih dahulu karena memuat sengketa prayudisial.

Masing-masing institusi peradilan di atas, pada dasarnya menerapkan hukum dan melakukan penindakan terhadap pelanggar hukum sesuai dengan bidang kewenangannya, namun pada praktiknya, penerapan hukum dan penindakan terhadap pelanggar hukum seringkali, melibatkan beberapa bidang kewenangan karena suatu perbuatan mengandung unsur-unsur yang diatur pada dua norma hukum yang berbeda.

Persinggungan antar norma hukum inilah yang selanjutnya menimbulkan ‘perselisihan pra-yudisial’, yaitu pada waktu yang bersamaan baik dalam lingkungan peradilan yang sama atau berbeda, terjadi titik singgung pemeriksaan antar perkara.

Adanya pertemuan dua norma hukum yang berbeda ditangani dalam proses peradilan berbeda inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai, perkara manakah yang harus diputuskan lebih dahulu, perkara manakah yang seharusnya ditunda atau dihentikan atau ditangguhkan dan sebagai alternatif, dapatkah kedua perkara dilakukan pemeriksaan secara bersamaan.

Sejalan dengan pemikiran tersebut, Kejaksaan Agung Republik Indonesia juga sudah menerbitkan Surat Edaran nomor B/230/E/EJP/01/2013, tanggal 22 Januari 2013, perihal penanganan perkara pidana umum yang obyeknya berupa tanah.

Dalam surat edaran tersebut, ditegaskan agar para Jaksa Penuntut Umum tidak tergesa-gesa menerbitkan P21 terhadap perkara pidana tanah yang ditanganinya.

Apabila terkait obyek perkara tersebut terdapat gugatan perdata atau TUN agar JPU menunda atau menangguhkan penanganan perkara pidananya menunggu hingga ada putusan perkara perdata/TUN nya.

“Apabila kita cermati, semangat dari substansi surat edaran Jaksa Agung tersebut tidak lain adalah untuk memberikan perlindungan hukum berupa adanya kepastian hukum bagi masyarakat yang menghadapi perkara prejudicial geschil, agar perkaranya tidak terkatung-katung,”tuturnya.

BACA JUGA :  Promosikan Jawa Tengah di CJIBF 2025, Gubernur Luthfi: Investasi di Sini Sangat Menguntungkan

Dwi Agus Prianto, yang kini berhak menyandang gelar Doktor di depan namanya.

Ketika perkara prayudisial dikembalikan kepada penyidik, maka tahap selanjutnya penyidik akan menindaklanjuti dengan melakukan penanganan perkara prayudisial tersebut.

Permasalahan yang dihadapi, pada tahap penyidikan hingga saat ini belum ada aturan yang dapat dijadikan rujukan dalam penundaan perkara prayudisial pada tahap penyidikan.

Lebih lanjut dijelaskan olehnya, dari hasil penelusuran produk hukum dilingkungan Polri terkait penanganan perkara yang belum dapat dilimpahkan kepada JPU, baru ditemukan adanya Surat Edaran Kapolri nomor SE/7/VII/2018, tanggal 27 Juli 2018, tentang Penghentian Penyelidikan dan Surat edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018, tanggal 27 Juli 2018, tentang Penerapan Keadilan Restorative dalam Penanganan Perkara Pidana.

Merujuk pada substansi kedua surat edaran tersebut secara yuridis belum ditemukan skema tindakan hukum terhadap perkara prajudisial.

Akibatnya timbul keraguan dikalangan penyidik ketika akan menerapkan skema penundaan perkara prajudusial.

Kekosongan hukum ini pada tahap selanjutnya akan berpotensi memicu terjadinya ketidakpastian hukum, karena adanya perlakuan yang berbeda dalam menangani perkara yang memuat sengketa prayudisial antara penyidik satu dengan lainnya.

Hal ini tentunya sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Moeljatno, bahwa kepastian hukum setidak-tidaknya mempersyaratkan adanya sebuah hukum positif dan substansinya dirumuskan dengan jelas.

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, Dwi, berpandangan bahwa untuk mendekati terwujudnya kepastian hukum dalam penanganan perkara prajudisial, dibutuhkan konsep ideal formulasi penundaan penanganan perkara pidana dalam sengketa prayudisial.

Konsep ideal tersebut secara sistematis diperoleh melalui upaya penemuan hukum yaitu proses konstatering, kualifikasi, dan konstituir.

Yang mana hasil dari proses ini akan membuat aparat penegak hukum bertemu pada beberapa kemungkinan jawaban.

Yaitu menunda atau tidak menunda, bergantung pada ada atau tidaknya ketergantungan, antara dua perkara atau menunda dan tidak menunda.

Karena walaupun apgakkum merasa tidak diperlukan putusan lain, tetapi para pihak mengajukan perkara di pengadilan lainnya dan tidak perlu ditunda, karena antar putusan tidak terkait, sehingga tidak akan muncul putusan kontradiktif.

Ketiga langkah tersebut, diharapkan mampu mendorong penegakan hukum yang sistematis oleh apgakkum sehingga mewujudkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.

“Kedepan, untuk mewujudkan kepastian hukum dalam penanganan perkara prajudisial sedini mungkin, maka idealnya peraturan perundang-undangan yeng mengatur tentang penundaan penanganan perkara prajudisial pada tahap penyidikan harus dipersiapkan dengan baik. Karena tahap penyidikan ini merupakan pintu gerbang awal masuknya perkara pidana kedalam sistem peradilan pidana Indonesia,” paparnya.

Karena saat ini di lingkungan institusi Polri belum ada peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan pedoman dalam penundaan penanganan perkara prajudisial.

Maka ia menyampaikan beberapa saran sebagai beriku. Polri dapat melakukan amandemen terhadap Perkap No 06 tahun 2019, tentang penyidikan tindak pidana dan peraturan kabareskrim Nomor 1 tahun 2022, tentang standar operasional prosedur pelaksanaan penyidikan tindak pidana, untuk selanjutnya memasukkan ketentuan mengenai mekanisme penundaan penanganan perkara prajudisial kedalam substansi peraturan baru tersebut.

Menunggu proses amandemen terhadap peraturan diatas, untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, Kapolri dapat menerbitkan surat edaran tentang pedoman penundaan penanganan perkara prajudisial.

Sehingga penyidik memiliki pedoman yang jelas ketika menangani perkara prayudisial. (T04-Red)

error: