BREBES, smpantura – Kondisi kerusakan hutan di Kabupaten Brebes mendatangan keprihatinan tersendiri dari para aktivis lingkungan di Kota Bawang ini. Mereka mendesak pemerintah daerah melakukan aksi nyata untu mengatasi krisis hutan ini.
Desakan itu disampaikan dalam forum diskusi bertajuk “Dopokan Para Aktivis Bersama Pampera” yang digelar di Kecamatan Salem, kemarin. Forum diskusi ini menjadi wadah konsolidasi berbagai elemen masyarakat sipil untuk menyuarakan krisis ekologis yang kian mengkhawatirkan.
Kegiatan yang diinisiasi LSM Perjuangan Amanat Penderitaan Rakyat (Pampera) Kecamatan Bantarkawung ini, dihadiri sejumlah aktivis lingkungan, penggiat sosial, dan tokoh masyarakat dari berbagai wilayah di Brebes.
Ketua Pampera, Mohamad Jamil menegaskan, bahwa alih fungsi hutan secara masif menjadi lahan pertanian hortikultura telah menyebabkan kerusakan lingkungan serius, terutama di kawasan hulu.
“Alih fungsi hutan sudah tak terkendali. Saat musim hujan, terjadi banjir dan longsor di mana-mana. Saat kemarau, lahan menjadi tandus, dan petani kesulitan air. Ini bukan hanya persoalan lokal, tapi krisis ekologis yang mengancam keseimbangan ekosistem secara menyeluruh,” ujarnya.
Ia mendesak, pemerintah daerah maupun pusat untuk mengambil langkah konkret dan tegas dalam menghentikan kerusakan hutan dan memulihkan kawasan yang rusak.
“Kami mendesak ada langkah kongkret dari pemerintah daerah untuk mengatasi krisis hutan ini,” tegasnya.
Sorotan lain disampaikan Kustono, aktivis lingkungan asal Kecamatan Salem. Ia menyoroti keberadaan hutan produksi yang justru menjadi sumber kerusakan lingkungan, terutama di titik-titik sumber mata air.
“Saya mendesak agar pemerintah segera mengalihkan status hutan produksi menjadi hutan lindung, khususnya di kawasan yang menjadi sumber mata air vital. Hutan produksi tidak memberi manfaat nyata bagi masyarakat, justru hanya menyisakan bencana,” tandasnya.
Menurut dia, nilai ekonomi yang dihasilkan dari eksploitasi hutan produksi jauh lebih kecil dibandingkan dengan kerugian ekologis dan sosial yang ditimbulkan mulai dari banjir, longsor, rusaknya infrastruktur jalan, irigasi pertanian, hingga dampak jangka panjang terhadap ketahanan air dan pangan.
“Ironisnya, masyarakat desa sekitar hutan hampir tidak pernah menikmati hasil produksi hutan itu. Sebaliknya, mereka justru menjadi korban langsung dari dampak kerusakan yang ditimbulkan. Ini adalah bentuk ketidakadilan ekologis yang nyata,” imbuhnya.
Sementara itu, Solehudin Asro aktivis dari Bumiayu, mengkritisi kurangnya sinergi antara masyarakat, pemerintah desa, dan aparat penegak hukum dalam upaya konservasi lingkungan. Ia mendorong adanya peran aktif dari semua pihak untuk melindungi sumber daya alam yang tersisa.
Dari wilayah Sirampog, Gus Nahib menekankan pentingnya advokasi berjenjang. Ia berkomitmen untuk membawa suara dan aspirasi para aktivis akar rumput ini ke tingkat legislatif dan kementerian terkait.
“Forum seperti ini tidak boleh berhenti di ruang diskusi. Ini harus menjadi jembatan aspirasi ke tingkat nasional. Suara dari akar rumput harus didengar di Senayan dan oleh para pengambil kebijakan. Ini adalah panggilan moral,” pungkasny. (**).