Antara Layar dan Lapangan

Permainan tradisional Indonesia, seperti congklak, lompat tali, atau kelereng, memiliki kekayaan tersendiri. Selain mempererat hubungan sosial, permainan ini juga mengenalkan nilai budaya lokal yang membentuk identitas anak. Lewat permainan tersebut, anak belajar nilai kejujuran, sportivitas, ketahanan menghadapi kegagalan, serta kegembiraan dalam kebersamaan.

Maka, tugas kita sebagai orang tua, pendidik, dan masyarakat adalah menciptakan keseimbangan. Teknologi tetap perlu diperkenalkan, tetapi dalam porsi dan bimbingan yang tepat. American Academy of Pediatrics merekomendasikan waktu layar maksimal satu jam per hari untuk anak usia 2–5 tahun, dengan konten yang edukatif dan interaktif.

Di sisi lain, ruang untuk bermain fisik dan permainan tradisional harus terus dihidupkan. Membuat waktu keluarga tanpa gadget, menghidupkan kembali permainan rakyat di sekolah, dan menyediakan ruang publik yang aman untuk bermain adalah langkah konkret yang bisa dilakukan.

BACA JUGA :  Fenomena Judi Online Di Kalangan Mahasiswa

Generasi masa depan membutuhkan keterampilan digital untuk bertahan, tetapi mereka juga membutuhkan ketangguhan emosional, kreativitas, dan kecintaan pada budaya sendiri. Semua itu dibangun, bukan dari layar, melainkan dari pengalaman nyata, tawa, kegagalan, dan keberhasilan yang ditemukan dalam dunia bermain.

Membiarkan anak tenggelam dalam dunia digital tanpa keseimbangan berarti merampas kesempatan mereka untuk tumbuh utuh sebagai manusia. Sebaliknya, menghidupkan kembali permainan tradisional sambil memperkenalkan teknologi secara sehat adalah investasi bagi masa depan bangsa. **

Oleh: Robiatul Adawiyah (Guru RA Al Rahmah, Danawarih)

error: