Buku Masjid Agung Kota Tegal dalam Bingkai Sejarah Resmi Dirilis

TEGAL, smpantura – Buku Masjid Agung Kota Tegal dalam Bingkai Sejarah, resmi dirilis di penghujung tahun 2023.

Bersamaan dengan itu, dilakukan pula bedah buku, yang berlangsung di serambi masjid, Sabtu (30/12).

Kegiatan ini dihadiri tiga panelis yakni Ketua Dewan Kesenian Kota Tegal (DKT), Yono Daryono, Ketua MUI Kota Tegal, KH Abu Chaer Annur, Sejarawan, Wijanarto dan moderator, Surliali Andi Kustomo.

Turut hadir para penulis Buku Masjid Agung Kota Tegal dalam Bingkai Sejarah, H. Moh Suwarso, Firman Hadi, Ubaidillah, Makhsum Bustomi dan Edy Yohana.

Dalam momentum itu, Yono Daryono mengutarakan bahwa masjid adalah inklusi sebagai ruang yang di bangun dari filosofi sejarah.

“Proses manajemen masjid adalah tentang sejarah Tegal itu, tapi memang perlu ada kajian agar menjadi satu literasi yang literatur, yang lebih akademis dan faktual. Kemudian bangunan-bangunan itu kan banyak perubahan dari dulu sampai sekarang itu perubahannya sangat strategis sekali yang dipertahankan,” ujar Yono.

Wijanarto mengatakan, hadirnya buku Masjid Agung Kota Tegal dalam Bingkai Sejarah ini selain sebagai publikasi buku diharapkan menyelamatkan sumber-sumber sejarah yang bisa menguatkan tentang bukti bukti historis Masjid Agung.

“Makanya kami mengusulkan adanya ruang khusus untuk menyimpan benda-benda itu, secara artefak dan juga misalkan secara bukti bukti historis yang bisa menjadikan masyarakat tahu,” katanya.

Menurutnya, proses revitalisasi masjid harus tetap mempertahankan nilai-nilai arsitektur yang tinggi dan menjadi ikon arsitektur masjid di Jawa khusunya Tegal.

“Karena kita melihat setiap revitalisasi selalu ada ruang yang hilang, sehingga kita bisa melihat bangunan baru tapi kehilangan identitas sejarahnya. Tentang pentingnya nilai filosofi mulai dari atap, ruang pelataran, ruang dalam dan sebagainya. Ini yang perlu diperhatikan, adanya perlu kurasi untuk melihat kira-kira mana bagian yang penting dari identitas itu, ketika ada persoalan revilitasi bangunan masjid,” tambahnya.

Terpisah, Wali Kota Tegal, Dedy Yon Supriyono melalui Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kota Tegal, Andri Yudi Setiawan mengapresiasi kepada para penulis buku, penerbit daan seluruh tim yang terlibat dalam penulisan dan penerbitan buku tersebut.

“Sebuah karya yang tidak hanya memberikan wawasan baru tentang sejarah masjid, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi generasi mendatang,” ujar Yudi.

BACA JUGA :  MBG Bukan Hanya Soal Dapur Ngebul, Gubernur Ahmad Luthfi Ingatkan Pentingnya Kesejahteraan Warga

Yudi menambahkan, Masjid Agung Kota Tegal bukan hanya sebuah tempat ibadah, tetapi juga merupakan lambang keberagaman dan toleransi dalam masyarakat kita.

Melalui buku tersebut, masyarakat diharap dapat memahami perjalanan panjang masjid serta peran dan kontribusi masyarakat dalam membangun dan memelihara keberlangsungan masjid sebagai pusat spiritual dan kegiatan keagamaan.

“Sejarah adalah cermin dari masa lalu yang mengajarkan kita untuk melangkah lebih baik di masa depan. Melalui penelitian dan pembelajaran tentang sejarah Masjid Agung Kota Tegal, kita dapat memetik nilai-nilai kearifan lokal, semangat gotong royong, dan rasa cinta tanah air yang tercermin,” pungkasnya.

Penulis Buku Masjid Agung Kota Tegal dalam Bingkai Sejarah, Firman Hadi memaparkan, buku tersebut diterbitkan berawal dari keinginan untuk mendokumentasikan sebuah peristiwa lama yang memiliki nilai sejarah.

Adanya buku tersebut diharapkan dapat mengabadikan momentum kepada generasi penerus atau anak cucu.

“Kami mencoba ikhtiar, berusaha memburu referensi dan versi-versi para tokoh, sehingga tersusunlah buku Masjid Agung Kota Tegal,” jelasnya.

Ditegaskan Firhad, demikian dia akrab disapa, pihaknya tidak bisa menyusun sebuah peristiwa sejarah tanpa mengaitkan dengan peristiwa sejarah lain.

“Di Masjid Agung ini kita mengaitkannya bahwa Masjid Agung itu dibangun memenuhi landscape tata kota Jawa yang waktu itu masih baru, karena dimulai pada era Sultan Agung,” bebernya.

Adapun landscape tata kota di Jawa itu antara lain bahwa di pusat kota terdapat empat elemen yang menjadi satu atau catur gatra tunggal.

“Catur gatra tunggal itu meliputi Alun-alun, pusat pemerintahan (kadipaten, kasultanan dan keraton), pusat spiritual (masjid) dan pusat perekonomian (pasar),” tegasnya.

Selain itu, lanjut Firhad, terdapat elemen tambahan yang mulai tren ketika Hindia Belanda masuk yakni supremasi hukum, yang disimbolkan dengan landraad atau pengadilan negeri.

“Elemen-elemen itulah yang ditetapkan di Tegal dan hal itu menjadi dasar penulisan sejarah Masjid Agung, karena Masjid Agung tidak bisa lepas dari landscape tata kota itu,” tutupnya. (T03-Red)

error: