“Di Masjid Agung ini kita mengaitkannya bahwa Masjid Agung itu dibangun memenuhi landscape tata kota Jawa yang waktu itu masih baru, karena dimulai pada era Sultan Agung,” bebernya.
Adapun landscape tata kota di Jawa itu antara lain bahwa di pusat kota terdapat empat elemen yang menjadi satu atau catur gatra tunggal.
“Catur gatra tunggal itu meliputi Alun-alun, pusat pemerintahan (kadipaten, kasultanan dan keraton), pusat spiritual (masjid) dan pusat perekonomian (pasar),” tegasnya.
Selain itu, lanjut Firhad, terdapat elemen tambahan yang mulai tren ketika Hindia Belanda masuk yakni supremasi hukum, yang disimbolkan dengan landraad atau pengadilan negeri.
“Elemen-elemen itulah yang ditetapkan di Tegal dan hal itu menjadi dasar penulisan sejarah Masjid Agung, karena Masjid Agung tidak bisa lepas dari landscape tata kota itu,” tutupnya. (T03-Red)