Enam Hari Sekolah, Antara Kebijakan Pendidikan dan Manuver Politik

(Rudi Yahya, pengamat kebijakan publik Purbalingga)

Poin-Poin Penting UNESCO

UNESCO memiliki pedoman yang sangat jelas untuk waktu belajar, perkembangan anak, dan desain sistem pendidikan. Poin relevannya adalah:

  • Keseimbangan waktu belajar–keluarga–masyarakat harus dijaga.
  • Jam dan hari belajar tidak boleh berlebihan karena mengurangi kualitas pembelajaran.
  • Kesejahteraan peserta didik (student wellbeing) harus menjadi dasar pengambilan kebijakan.
  • Pembelajaran bermakna dan kreatif lebih penting daripada durasi fisik di sekolah.

Empat poin ini menunjukkan bahwa kebijakan enam hari sekolah tidak sesuai arah pendidikan global.

Kemampuan Anak Berpikir dalam Satu Minggu

Dari sisi neurosains:

  • Kapasitas fokus efektif siswa hanya 4–5 jam per hari.
  • Otak membutuhkan dua hari libur berturut-turut untuk pemulihan kognitif.
  • Belajar terlalu sering menyebabkan kelelahan mental, penurunan motivasi, dan melemahkan daya kritis.
  • Efektivitas belajar menurun drastis pada hari ke-6.
BACA JUGA :  Dilemalisasi Boikot Produk yang Terafiliasi Dengan Israel

Dengan kata lain, memaksakan sistem enam hari sekolah justru berpotensi merusak performa belajar siswa.

Penutup: Pendidikan Bukan Alat Politik

Kebijakan enam hari sekolah bukan sekadar isu teknis, melainkan keputusan yang berpotensi mengubah ritme hidup jutaan anak. Ketika di satu sisi ada lembaga pendidikan milik ormas tertentu yang kehilangan murid, dan di sisi lain pemerintah memunculkan narasi “perlindungan anak” yang sangat politis, wajar jika publik kritis. Pendidikan tidak boleh dipakai untuk konsolidasi kepentingan.

  • Tidak boleh dirumuskan tergesa-gesa.
  • Tidak boleh menabrak kajian ilmiah, rekomendasi UNESCO, dan praktik negara-negara maju.
  • Anak bukan objek politik.

Mereka adalah masa depan bangsa dan masa depan itu tidak boleh dikorbankan demi manuver siapa pun. (**)