Secara moral, tindakan ini merupakan pelanggaran berat dari prinsip utilitarianisme yang menuntut agar tindakan pemerintah memberi manfaat terbesar bagi masyarakat luas.
Korupsi yang menguntungkan segelintir orang namun merugikan rakyat banyak—termasuk dengan hilangnya subsidi dan naiknya harga energi—jelas tidak etis.
Lebih dalam, pendekatan hak dan kewajiban menekankan bahwa pejabat publik berkewajiban bertindak jujur dan menghormati hak rakyat atas pengelolaan keuangan negara yang transparan. Dalam hal ini, skandal Pertamina mencederai kepercayaan publik dan melanggar hak moral masyarakat.
Danantara: Harapan Pertumbuhan atau Reproduksi Ketimpangan?
Sementara itu, pembentukan Danantara yang ditargetkan mengelola hingga Rp1.000 triliun dana investasi menimbulkan optimisme sekaligus kewaspadaan.
Tujuan resminya terkesan menjanjikan: mempercepat transformasi ekonomi melalui investasi di sektor strategis seperti energi terbarukan, teknologi kecerdasan buatan (AI), pengolahan logam tanah jarang, hingga penguatan rantai pasok nasional.
Pemerintah menyebut Danantara sebagai upaya menjawab kebutuhan pembangunan jangka panjang tanpa membebani APBN secara langsung.
Namun, di balik visi besar itu, sejumlah pengamat menyuarakan kekhawatiran serius. Salah satu isu utama adalah kurangnya transparansi dan akuntabilitas publik dalam desain kelembagaan Danantara.
Tidak seperti badan usaha milik negara pada umumnya, Danantara beroperasi dengan struktur semi-otonom yang memiliki ruang keleluasaan dalam pengambilan keputusan investasi, namun minim pengawasan legislatif dan sipil secara langsung.
Pertanyaan juga muncul mengenai siapa yang akan benar-benar diuntungkan oleh kehadiran Danantara. Apakah lembaga ini akan memperluas kesempatan ekonomi bagi rakyat kecil, atau justru menguntungkan elite korporasi dan mitra investor besar? Jika tidak dikelola dengan prinsip keadilan distribusi dan keberpihakan terhadap sektor riil yang inklusif, maka Dana Danantara berisiko menjadi instrumen reproduksi ketimpangan baru.
Dari sudut pandang etika kebijakan publik, lembaga sekelas Danantara menuntut pertanggungjawaban moral yang tinggi.