Etika dalam Kebijakan Publik: Menimbang Moralitas di Balik Skandal Pertamina dan Pembentukan Danantara

Investasi bukan hanya soal angka dan pertumbuhan, tetapi juga soal dampak nyata terhadap kesejahteraan masyarakat. Tanpa prinsip tata kelola yang berlandaskan transparansi, akuntabilitas, dan keadilan sosial, ambisi besar seperti Danantara dapat berubah menjadi beban baru yang justru menjauhkan negara dari cita-cita kesejahteraan bersama.

Jika dilihat dari perspektif utilitarian, Danantara bisa menjadi alat pembangunan yang memberi manfaat luas bila pengelolaannya efektif dan berpihak pada sektor publik.

Namun, jika manfaat ekonomi hanya terkonsentrasi pada elite bisnis atau proyek yang tidak menyentuh kebutuhan rakyat, lembaga ini bisa menjadi simbol ketimpangan baru.

Dalam pandangan teori keadilan John Rawls, lembaga seperti Danantara harus memastikan bahwa ketimpangan yang muncul harus bisa dibenarkan karena memberi keuntungan kepada kelompok paling rentan. Jika tidak, ia gagal secara moral.

Tantangan Moral Bersama: Transparansi dan Keadilan Dua kasus ini, meski berbeda dalam sifatnya, menunjukkan perlunya prinsip etika sebagai fondasi tata kelola. Pemerintah telah mengeluarkan Inpres No. 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran sebesar Rp306 triliun. Namun efisiensi tanpa integritas dan keadilan hanya akan memperparah krisis kepercayaan publik.

BACA JUGA :  Desain Komunikasi Visual (DKV) adalah Ilmu Masa Depan

Dalam kasus Pertamina, penguatan pengawasan dan reformasi tata kelola BUMN adalah keharusan. Sedangkan untuk Danantara, keterbukaan data, partisipasi masyarakat sipil, dan evaluasi independen menjadi kunci agar lembaga ini tidak melenceng dari tujuan publik.

Etika bukan pelengkap, melainkan fondasi utama dalam penyelenggaraan negara. Seberapa besar pun anggaran dan target pertumbuhan ekonomi, jika tidak disertai dengan komitmen terhadap nilai-nilai keadilan, transparansi, dan kepentingan umum, maka negara justru sedang membangun istana di atas pasir. (**)

error: