Bukti nyata dari sisi gelap fast fashion ini bisa kita lihat di Bangladesh yang merupakan negara berkembang dan pemasok pekerja garmen terbesar tetapi dengan upah yang rendah yaitu 8.800 taka per minggunya atau sekitar Rp 1.475.409, yang dimana upah tersebut tidak sebanding dengan biaya hidup di Bangladesh yang mencapai 16.000 taka atau sekitar Rp 2.682.562 per minggu. Selain upah yang rendah, para pekerja garmen di Bangladesh diminta untuk bekerja selama 54 jam per minggu atau dengan rata-rata jam kerja 10-18 jam per hari. Hal ini tidak hanya terjadi di Bangladesh saja, tetapi di Indonesia sendiri bahkan sampai ada istilah “kerja di garmen harus kuat mental” karena dunia kerja di garmen terkenal dengan jam kerjanya yang panjang dan tak jarang juga mereka bekerja lembur tanpa dibayar dengan dalih tidak capai target harian dari perusahaan.
Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi dampak negatif dari industri fast fashion? Kita harus lebih bijak dalam membeli, belilah sesuai kebutuhan bukan berdasarkan keinginan. Jika pakaian masih layak pakai tetapi tidak ingin memakainya kembali, bisa kita jual atau sumbangkan agar tidak menjadi limbah pakaian. Sedangkan untuk pelaku industri fast fashion dapat berkontribusi dengan mempertimbangkan lebih bijak jumlah produksi dan bahan yang diperlukan agar mengurangi limbah pre-consumer. Selain itu, pelaku bisnis juga harus lebih memperhatikan kesejahteraan pekerjanya dengan memberikan upah yang sesuai, memberikan perlindungan dan jaminan kesehatan terhadap pekerjanya.


