Tegal  

HNSI Jateng Minta Kejelasan Penundaan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur

TEGAL, smpantura – Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Tengah, meminta kejelasan pemerintah atas penundaan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT).

Pasalnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) secara resmi telah mengujicobakan kebijakan PIT pada Senin, 29 April 2024 untuk zona III PIT di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 718 yang mencakup Laut Aru, Laut Arafuru dan Laut Timor bagian Timur.

Ketua HNSI Jawa Tengah, H Riswanto, Senin (6/5) mengatakan, kebijakan PIT belum diterapkan secara menyeluruh oleh KKP di WPPNRI dan zona ekonomi eksklusif (ZEE) karena ada penundaan pada bulan Januari 2024.

“Penerapan PIT yang sedianya dilaksanakn pada Januari 2024, ditunda satu tahun menjadi 1 Januari 2025, meski Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur sudah ditetapkan,” ujarnya.

PP Nomor 11 Tahun 2023, dijelaskan Riswanto, menuai banyak protes penolakan di kalangan nelayan serta pelaku usaha penangkapan ikan. Polemik tersebut disikapi dengan penundaan penerapan PIT.

“Setelah ada pertemuan dengan presiden dengan nelayan dan pelaku usaha penangkapan ikan yang tergabung dalam Solidaritas Nelayan Indonesia (SNI) di Istana Negara Jakarta, 29 November 2023, disepakati bahwa penerapan PIT ditunda,” tegasnya.

BACA JUGA :  Polres Tegal Kota Terus Gencarkan Sosialisasi Cegah Perundungan di Sekolah

Menurut Riswanto, konteks penundaan kebijakan PIT harus diperjelas. Apakah penundaan itu berlaku untuk kemudian dilanjutkan atau justru ditunda untuk dibatalkan.

Sebab, penerapan PIT membutuhkan proses dan kajian menyeluruh terkait bagaimana kesiapan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia (SDM) serta lainnya.

Selain uji coba dan rencana penerapan kebijakan PIT, sebelumnya KKP juga menerapkan kebijakan penarikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pascaproduksi yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 tahun 2021 yang menuai protes keberatan terkait tingginya indeks tarif 10 persen.

“Walaupun KKP memberi solusi dengan harga acuan ikan (HAI), tapi nelayan dan pelaku usaha menilai masih sangat berat. Karena memang tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Harga ikan murah, tetapi biaya operasional membengkak karena dampak kenaikan harga BBM solar industri untuk nelayan,” tandasnya.

Untuk itu, sambung Riswanto, para nelayan dan pelaku usaha penangkap ikan meminta adanya revisi terkait indeks tarif PNBP dari 10 persen diturunkan menjadi tiga persen, agar usaha penangkapan ikan bisa bertahan terus berkelanjutan. (T03_Red)

error: