Masing-masing institusi peradilan di atas, pada dasarnya menerapkan hukum dan melakukan penindakan terhadap pelanggar hukum sesuai dengan bidang kewenangannya, namun pada praktiknya, penerapan hukum dan penindakan terhadap pelanggar hukum seringkali, melibatkan beberapa bidang kewenangan karena suatu perbuatan mengandung unsur-unsur yang diatur pada dua norma hukum yang berbeda.
Persinggungan antar norma hukum inilah yang selanjutnya menimbulkan ‘perselisihan pra-yudisial’, yaitu pada waktu yang bersamaan baik dalam lingkungan peradilan yang sama atau berbeda, terjadi titik singgung pemeriksaan antar perkara.
Adanya pertemuan dua norma hukum yang berbeda ditangani dalam proses peradilan berbeda inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai, perkara manakah yang harus diputuskan lebih dahulu, perkara manakah yang seharusnya ditunda atau dihentikan atau ditangguhkan dan sebagai alternatif, dapatkah kedua perkara dilakukan pemeriksaan secara bersamaan.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, Kejaksaan Agung Republik Indonesia juga sudah menerbitkan Surat Edaran nomor B/230/E/EJP/01/2013, tanggal 22 Januari 2013, perihal penanganan perkara pidana umum yang obyeknya berupa tanah.
Dalam surat edaran tersebut, ditegaskan agar para Jaksa Penuntut Umum tidak tergesa-gesa menerbitkan P21 terhadap perkara pidana tanah yang ditanganinya.
Apabila terkait obyek perkara tersebut terdapat gugatan perdata atau TUN agar JPU menunda atau menangguhkan penanganan perkara pidananya menunggu hingga ada putusan perkara perdata/TUN nya.
“Apabila kita cermati, semangat dari substansi surat edaran Jaksa Agung tersebut tidak lain adalah untuk memberikan perlindungan hukum berupa adanya kepastian hukum bagi masyarakat yang menghadapi perkara prejudicial geschil, agar perkaranya tidak terkatung-katung,”tuturnya.