Konsep ideal tersebut secara sistematis diperoleh melalui upaya penemuan hukum yaitu proses konstatering, kualifikasi, dan konstituir.
Yang mana hasil dari proses ini akan membuat aparat penegak hukum bertemu pada beberapa kemungkinan jawaban.
Yaitu menunda atau tidak menunda, bergantung pada ada atau tidaknya ketergantungan, antara dua perkara atau menunda dan tidak menunda.
Karena walaupun apgakkum merasa tidak diperlukan putusan lain, tetapi para pihak mengajukan perkara di pengadilan lainnya dan tidak perlu ditunda, karena antar putusan tidak terkait, sehingga tidak akan muncul putusan kontradiktif.
Ketiga langkah tersebut, diharapkan mampu mendorong penegakan hukum yang sistematis oleh apgakkum sehingga mewujudkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
“Kedepan, untuk mewujudkan kepastian hukum dalam penanganan perkara prajudisial sedini mungkin, maka idealnya peraturan perundang-undangan yeng mengatur tentang penundaan penanganan perkara prajudisial pada tahap penyidikan harus dipersiapkan dengan baik. Karena tahap penyidikan ini merupakan pintu gerbang awal masuknya perkara pidana kedalam sistem peradilan pidana Indonesia,” paparnya.
Karena saat ini di lingkungan institusi Polri belum ada peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan pedoman dalam penundaan penanganan perkara prajudisial.
Maka ia menyampaikan beberapa saran sebagai beriku. Polri dapat melakukan amandemen terhadap Perkap No 06 tahun 2019, tentang penyidikan tindak pidana dan peraturan kabareskrim Nomor 1 tahun 2022, tentang standar operasional prosedur pelaksanaan penyidikan tindak pidana, untuk selanjutnya memasukkan ketentuan mengenai mekanisme penundaan penanganan perkara prajudisial kedalam substansi peraturan baru tersebut.