smpantura – Kebijakan Gubernur Jawa Tengah yang mewajibkan ASN laki-laki mengenakan sarung batik setiap Jumat kembali menyorongkan pertanyaan mendasar tentang arah kebijakan publik di tengah masyarakat yang majemuk. Meski dapat di pahami sebagai upaya mengangkat budaya lokal atau menegaskan nuansa kesantrian, penerapan seragam berbasis simbol kultural tetap harus di timbang dengan cermat agar tidak menimbulkan kegaduhan yang tak perlu.
Pertama, orientasi kebijakan seragam ASN seharusnya bertumpu pada profesionalitas, efektivitas kerja, dan keseragaman yang menunjang pelayanan publik. Dalam literatur administrasi publik, Denhardt & Denhardt menekankan bahwa pelayanan publik harus berfokus pada serving, not steering. Mengutamakan manfaat konkret bagi masyarakat. Sarung, meski bernilai budaya, tidak selalu praktis bagi ASN yang memiliki tugas lapangan dan mobilitas tinggi. Kebijakan yang tidak meningkatkan kualitas layanan publik berisiko menjadi sekadar simbol tanpa dampak substantif.
Kedua, sarung merupakan pakaian yang dalam banyak konteks sosial di Indonesia identik dengan tradisi Islam, khususnya kultur kesantrian. Ketika ASN non-Muslim di wajibkan mengenakannya, muncul persoalan sensitif berupa pemaksaan simbol budaya-agama tertentu. Dalam kerangka teori multikulturalisme Kymlicka, negara berkewajiban memastikan bahwa kebijakan publik tidak menciptakan diskriminasi implisit terhadap kelompok minoritas. Indonesia sebagai negara hukum dengan UUD 1945 dan UU HAM sebagai landasan. Harus memberi ruang aman bagi semua pegawai negara untuk mempertahankan identitasnya tanpa tekanan simbolik dari kelompok tertentu.


