Ketiga, ASN adalah representasi netral negara. Prinsip ini sejalan dengan teori good governance yang menekankan netralitas birokrasi sebagai syarat pelayanan publik yang adil dan bebas dari bias identitas. Penerapan simbol kultural yang berasosiasi dengan kelompok mayoritas berpotensi menabrak prinsip tersebut. Seragam ASN seharusnya mengedepankan kesetaraan, bukan dominasi simbolik.
Lebih jauh, kebijakan yang baik menuntut proses yang transparan, partisipatif, dan berbasis pertimbangan rasional. Literatur kebijakan publik seperti Dunn dan Lasswell menegaskan bahwa formulasi kebijakan yang menyangkut identitas sosial masyarakat membutuhkan dialog, uji manfaat, serta analisis dampak sosial yang memadai. Ketidakjelasan alasan kebijakan, sebagaimana tampak dari pernyataan pejabat terkait, menunjukkan adanya celah dalam komunikasi publik pemerintah. Padahal, legitimasi kebijakan sangat di tentukan oleh akuntabilitas dan keterbukaan prosesnya.
Indonesia adalah rumah bagi keberagaman. Setiap kebijakan yang menyangkut simbol budaya dan agama harus di rumuskan dengan hati-hati agar tidak melukai kepekaan sosial ataupun menimbulkan diskriminasi tidak langsung. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap aturan berpijak pada asas inklusivitas, manfaat publik, dan penghormatan terhadap hak asasi.
Dalam konteks ini, kebijakan wajib sarung bagi ASN sebaiknya dievaluasi ulang secara menyeluruh. Negara tidak boleh terjebak pada gestur simbolik yang mengabaikan prinsip keberagaman dan profesionalitas, dua fondasi penting dalam pelayanan publik yang modern dan berkeadilan.


