“Ada catatan sejarah logis yang menjadi alasan kuat kenapa Tegal mendapat julukan itu. Industri logam di Tegal tumbuh pada masa kolonial Belanda. Saat itu, sangat dibutuhkan pasokan untuk menopang kebutuhan peralatan dan suku cadang pabrik gula, perkapalan, kereta api dan tekstil,” jelasnya.
Untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut, lanjut Widya, dibangun Pabrik Logam NV Barat, yang kemudian menjadi PT. Barata yang sampai sekarang masih beroperasi. Kemudian tumbuh bengkel-bengkel sederhana yang tersebar di wilayah Kota Tegal, khususnya di Jalan Cempaka (Kawasan Peruntukan Industri atau KPI).
“Ada beberapa isu yang menjadi fokus kami untuk mengembalikan kejayaan Tegal sebagai Jepangnya Indonesia. Salah satunya dengan mengoptimalkan data industri logam dan kemitraan dalam pengembangan sumber daya industri dan fasilitasi perizinan bagi IKM logam,” terangnya.
Sementara itu, dengan adanya Sinse Bah In Lok diharapkan dapat memberi ruang bagi para pelaku usaha industri logam untuk memanfaatkan SILKOT sebagai ajang aktivitas maupun pelaksanaan program dan kegiatan terkait pemberdayaan IKM, sehingga akan mempermudah pelaksanaan kinerja Disnakerin, khususnya dalam perumusan, koordinasi, evaluasi dan lainnya.
“Dengan Sinse Bah In Lok untuk mengoptimalkan Kemitraan Pengembangan Sumber Daya Industri Logam melalui adanya SILKOT, semoga bisa meningkatkan produktivitas dan kapasitas pelaku IKM Logam, sehingga akan berdampak pada peningkatan ekonomi daerah. Termasuk memberi azas manfaat bagi dunia usaha, akademisi, masyarakat dan media massa,” tandasnya.
Dosen Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer, UPS Tegal, Irfan Santosa memaparkan, secara karakteristik geografis terdapat kesamaan antara Indonesia dengan Jepang. Namun, industri di Jepang sangat maju karena memegang teguh dua kata kunci, yakni disiplin dan menjaga kualitas.