KECAMATAN Sirampog, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, kembali dilanda bencana tanah longsor pada awal tahun 2025. Desa-desa seperti Mendala, Manggis, Sridadi, dan Mlayang menjadi saksi betapa rentannya bentang alam kawasan ini ketika alam mulai bicara. Longsor yang terjadi di berbagai titik, mulai dari Dusun Krajan di Mendala hingga wilayah Jatiteken dan Siroyom di Desa Mlayang, menunjukkan bahwa ini bukan sekadar fenomena musiman akibat curah hujan tinggi. Ini adalah hasil akumulasi dari praktik eksploitasi dan abainya manusia terhadap ekosistem.
Sirampog dan Warisan Alamnya.
Sirampog terletak di kaki selatan Gunung Slamet, kawasan yang sejak lama dikenal dengan kesuburan tanahnya dan keberlimpahan air dari mata air pegunungan. Sawah terasering, kebun hortikultura, dan hutan rakyat dulunya menjadi ciri khas dari kecamatan ini. Namun, dalam dua dekade terakhir, wajah alam Sirampog berubah drastis.
Hutan-hutan yang dulu rimbun, kini sebagian besar telah berubah menjadi kebun sayur intensif. Mata air yang dulu mengaliri sawah kini menyusut, bahkan menghilang. Banyak lahan yang dulu subur berubah menjadi lahan kritis. Masyarakat, dalam upaya meningkatkan kesejahteraan ekonomi, tanpa disadari telah meminjam terlalu banyak dari alam, tanpa pernah membayar kembali.
Kronologi dan Sebaran Longsor
Longsor di Kecamatan Sirampog pada awal 2025 bukan hanya satu peristiwa tunggal. Ini adalah rangkaian bencana di berbagai desa:
• Desa Mendala: Terjadi di Dusun Krajan, memutus akses jalan desa, merusak sejumlah rumah, dan mengancam lahan pertanian.
• Desa Manggis: Longsor besar di Dukuh Sambungregel menimbun ruas jalan penghubung dan menyebabkan trauma mendalam pada warga.
• Desa Sridadi: Laporan menunjukkan kerusakan ringan hingga sedang akibat pergerakan tanah.
• Desa Mlayang: Khususnya di Dukuh Jatiteken dan Siroyom, pergerakan tanah menyebabkan 12 rumah retak dan jalan antardukuh terputus.
Akar Masalah—Deforestasi dan Eksploitasi Air
Deforestasi menjadi faktor utama di balik kerapuhan struktur tanah di Sirampog. Perubahan fungsi hutan menjadi kebun sayur dan ladang pertanian monokultur menyebabkan hilangnya tutupan vegetasi yang berfungsi sebagai penahan air dan pengikat tanah.
Eksploitasi air pun memperburuk situasi. Ribuan pipa paralon dan selang menjulur dari mata air menuju lahan-lahan pertanian hortikultura. Pengambilan air secara besar-besaran, tanpa kendali dan tanpa pendekatan konservasi, menyebabkan tekanan pada ekosistem pegunungan.
Lahan-lahan miring yang seharusnya menjadi zona lindung justru berubah menjadi ladang produksi. Sistem irigasi alami digantikan dengan jaringan pipa yang tidak memperhitungkan kapasitas resapan. Air hujan yang turun deras tidak lagi diserap, tetapi langsung mengalir ke bawah, membawa serta material tanah dan menyebabkan longsor.
Kegagalan Tata Kelola dan Minimnya Mitigasi
Pemerintah daerah telah menyusun sejumlah regulasi terkait kawasan rawan longsor. Namun implementasi di lapangan masih minim. Minimnya pemetaan mikro daerah rawan bencana menyebabkan tidak adanya early warning system berbasis komunitas.
Di sisi lain, kurangnya pendampingan terhadap petani membuat pilihan ekonomis jangka pendek tetap menjadi prioritas, meski harus mengorbankan keselamatan jangka panjang.
Tidak ada regulasi yang tegas terkait batas pemanfaatan air dan larangan bercocok tanam di lereng curam.
Dampak Sosial Ekonomi dan Psikologis
Selain kerugian material, longsor juga membawa dampak sosial dan psikologis yang mendalam. Anak-anak tidak bisa bersekolah karena jalan terputus. Warga yang rumahnya rusak terpaksa mengungsi. Ketidakpastian akan masa depan pertanian menambah beban mental petani.
Ekonomi desa terpukul karena hasil panen gagal, distribusi terhambat, dan biaya pemulihan tidak sedikit. Bantuan yang datang pun kadang tidak sesuai kebutuhan. Solidaritas sosial warga tetap kuat, tetapi tanpa dukungan kebijakan yang berpihak, mereka akan kelelahan menghadapi bencana demi bencana.
Mitigasi Berbasis Komunitas dan Alam
Langkah mitigasi yang perlu segera dilakukan mencakup:
• Reboisasi Terencana: Penanaman pohon di zona rawan, dengan melibatkan petani dan kelompok masyarakat.
• Pembatasan Pemanfaatan Air: Penataan ulang distribusi air dan edukasi konservasi air.
• Diversifikasi Pertanian: Penggantian pola tanam monokultur dengan sistem agroforestri.
• Pemetaan Mikro dan Early Warning System: Pemasangan alat pengukur gerakan tanah dan pelatihan relawan desa.
• Pendidikan Lingkungan: Kurikulum lokal di sekolah dan pelatihan warga tentang pentingnya menjaga lereng.
Menagih Tanggung Jawab Negara dan Korporasi
Pemerintah memiliki peran besar dalam menciptakan sistem tata ruang dan kebijakan pembangunan berkelanjutan. Namun, hingga saat ini, intervensi sering kali bersifat reaktif. Program perhutanan sosial, konservasi air, dan perbaikan infrastruktur masih jauh dari harapan.
Korporasi besar penyerap hasil hortikultura juga harus dituntut ikut bertanggung jawab. Model bisnis yang hanya mementingkan produksi tanpa memikirkan dampaknya harus dihentikan. Model pertanian berkelanjutan harus menjadi standar baru.
Bencana bukanlah semata kehendak Tuhan, melainkan juga buah dari kebijakan dan perilaku manusia. Sirampog mengingatkan kita bahwa alam yang diabaikan akan menagih dengan cara yang paling menyakitkan.
Ketika kita mengabaikan alam, kita sedang menyiapkan bencana berikutnya. Tetapi jika kita mau belajar, mendengar, dan berbenah, Sirampog bisa menjadi contoh pemulihan ekologi berbasis komunitas.
Karena sesungguhnya, bukan alam yang membutuhkan kita, tapi kitalah yang bergantung sepenuhnya pada kelestariannya. (**)