SLAWI, smpantura – Wayang kontemporer jadi pilihan dalang-dalang kekinian dalam bisnis pewayangan di Indonesia. Mereka hanya mengejar hiburan dengan meninggalkan pakem pewayangan.
Terpenting, lucu dan banyak yang nonton. Dalam sisi pendidikan yang terkandung dalam pagelaran wayang seolah-olah dikesampingkan.
Namun, tidak bagi Ki Ebe Tresno, dalang wayang kardus yang tetap mempertahankam pakem sebagai upaya pelestarian seni budaya wayang.
Ki Ebe Tresno yang tinggal di RT 26 RW 6 Desa Pesarean, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal itu, menganggap bahwah wayang merupakan warisan nenek moyang yang sarat dengan gambaran kehidupan.
Tidak hanya sebatas guyonan tanpa ada makna yang bisa disampaikan kepada para penonton.
“Saat ini, banyak pentas wayang yang menceritakan kondisi kekinian dengan bahasa yang kurang pas buat anak-anak,” kata Ki Ebe saat ditemui dikediamannya, Selasa (13/5/2025).
Ki Ebe yang nama aslinya Eka Bambang Sutresno itu, lebih mengedepankan pendidikan untuk kelestarian seni budaya wayang.
Perciptanya wayang kardus yang kini dirubah menjadi wayang karakter, mendasari keprihatinannya terhadap kelangsungan budaya wayang. Sejak masih kecil, suami dari Murdayati ini sudah senang dengan wayang.
Bahkan, setiap pagelaran wayang selalu duduk di depan dari awal cerita hingga akhir pertunjukan.
Memori masa kecilnya dihabiskan untuk belajar wayang secara otodidak. Kendati masih ada keturunan dalang dari kakeknya Mbah Salim, namun bukan dalang tetap.
Kakeknya hobi main wayang, tapi pekerjaan aslinya sebagai perangkat desa di Pesarean pada tahun 1980an.
“Tapi, saya tidak pernah diajari dalang sama kakek. Hanya melihat dan mendengar saat pentas wayang, baik saat kakek dalang atau dalang-dalang lainnya saat pentas,” kata Ki Ebe dengan khas logat Tegalnya.
Hampir cerita wayang yang dipertunjukkan hapal di luar kepala. Kecerdasan Ki Ebe membuat para dalang lokal kagum dan menjadikan asisten dalang sejak duduk di bangku kelas 3 SD.
Salah satunya Ki Darma asal Pagiyanten, Tegal yang menjadikan Ki Ebe sebagai asisten dalang setiap pagelarannya. Sejak 1995, Ki Ebe sudah dibawa pentas keliling Tegal dan sekitarnya untuk menjadi asisten dalang.
Lima tahun mengabdi di Ki Darma, Ki Ebe bergeser menjadi asisten dalang Ki Tobat Surono yang merupakan sepupu dari Almarhum Ki Enthus Susmono.
Banyak pentas yang telah dijalaninya bersama dalang-dalam pakem di masa kecilnya. Tak jarang, Ki Ebe kerap dimintai bantuan para dalang untuk memilih lakon untuk pertunjukan.
Tiba saatnya, Ki Ebe ingin berdikari dengan kesukaannya, sehingga berniat melestarikan budaya wayang ke anak-anak.
“Saya pengin mengenalkan wayang ke anak-anak. Akhirnya buat wayang dengan kardus, kalau dengan kulit kambing atau sapi mahal,” kata Ki Ebe yang kini telah memiliki satu cucu itu.
Wayang yang dibuatnya dengan kardus, dijual keliling ke sekolah-sekolah. Laku keras, karena banyak anak senang dengan wayang.
Saat menjual wayang, Ki Ebe biasanya juga mengajarkan tentang karakter masing-masing wayang. Bahkan, kerap membuat pertunjukan kecil di depan anak-anak.
Ketekunannya untuk melestarikan budaya wayang, membuat para guru kerap meminta tolong untuk mengajarkan secara resmi ke para siswa.
Beberapa kali, Ki Ebe juga diminta untuk mengajar guru-guru tentang karakter wayang dan cerita pewayangan. Jika para guru mengacu pada buku, kalau Ki Ebe hanya berdasarkan pengalaman selama menggeluti dunia wayang.
“Pada tahun 2014, saya diminta untuk pentas wayang. Awalnya, di orang hajatan dan lama-lama pentas umum,” terang Ki Ebe yang kini mendirikan Paguyuban Wayang Karakter Kembang Seni Budaya Tegal itu.
Pada awalnya, Ki Ebe hanya pentas tunggal dengan memanfaatkan kaset sebagai musik pengiring. Berkembang dengan musik Terbang Jawa atau yang dikenal dengan Wayang Srakal. Pertunjukan demi pertunjukan dijalaninya seorang diri.
Namun, teman-temannya ikut mendukung upaya Ki Ebe, sehingga membuat Paguyuban Wayang Karakter Kembang Seni Budaya. Saat ini, ada sekitar 20 orang yang ikut menjadi penabuh gamelan dengan menggunakan Gending Jawa.
Namun, pagelaran wayangnya tidak seperti wayang Purwo yang menggunakan kelir. Pertunjukan seperti wayang golek yang berhadapan langsung dengan penonton.
Cerita yang ditampilkan sesuai dengan pakem, seperti cerita Mahabarata dan Ramayana. Selain itu, cerita-cerita legenda seperti Majapahit, Singosari dan kerajaan lainnya di Jawa.
“Kalau saat ini, pentas bisa 1-2 kali dalam sebulan. Ramai pada saat banyak hajatan dan hari besar nasional. Kemarin, saat Hari Kartini juga pentas di balai desa dengan tema pahlawan,” kata Ki Ebe.
Ki Ebe mengaku generasi muda sekarang banyak yang suka dengan penampilannya. Terutama, soal wayang yang memiliki alur cerita.
Generasi muda juga banyak yang melihat tidak hanya di sisi kelucuan, tapi juga cerita legenda yang bisa dijadikan tuntunan. Bahkan, anak-anak SD banyak juga yang sengaja datang ke sanggar buat belajar wayang.
“Masih banyak sekolah yang minta untuk pentas wayang. Antusias siswa luar biasa dengan difasilitasi sekolah,” ujar Ki Ebe.
Kendati telah banyak menerima job manggung, namun Ki Ebe tetap dengan besicnya menjual wayang karakter.
Wayang kardus yang kini dinamakan wayang karakter, dibuat sendiri dari mulai membuat pola hingga melukis karakter tokoh wayang. Tiap wayang dijual dengan harga Rp 15 ribu.
Namun, wayang itu beda dengan yang bisa buat pentas. Wayang karakter yang dijual hanya berukuran 40 centimeter dan yang buat pertunjukan berukuran 80 centimeter.
“Saya juga membukukan cerita-cerita yang dipentaskan sebagai literasi bagi anak-anak sekolah. Saya tulis sendiri dan saat ini sudah dibukukan,” beber Ki Ebe.
Ditambahkan, cerita yang ditulisnya berdasarkan rekaman otaknya semasa kecil. Dari alur cerita hingga tokoh pewayangan beserta karakternya, masih hafal di kepalanya. Usianya yang sudah tidak muda lagi, membuatnya lebih sering menulis cerita yang belum sempat dibukukan.
“Barangkali bertambahnya usia, cerita-cerita legenda atau yang pakem lupa. Makanya, saya tulis menjadi buku,” pungkas Ki Ebe. **