“Masa iya Kota Tegal tidak bisa menghadirkan kepemimpinan yang dia berangkat dari Kota Tegal? Dia asli orang Kota Tegal,” tegas Uyip.
Hal itu dianggap sangat penting, mengingat persoalan kedekatan antar pemimpin dengan yang dipimpin atau yang memilih dengan yang dipilih, menjadi bounding (kedekatan) yang kuat, sehingga ada rasa dalam kepemimpinannya.
“Dia (pemimpin terpilih) bekerja berdasarkan aspirasi masyarakatnya dan bukan berdasarkan keinginannya sendiri,” jelasnya.
Kontemplasi berikutnya, Uyip mengingatkan parpol yang memiliki tanggungjawab dan berfungsi sebagai kawah candradimuka. Di mana partai yang sehat, adalah partai yang bisa melaksanakan proses kaderisasi, sehingga di dalam pemilihan, partai itu bisa menjagokan kadernya sendiri.
“Jika kemudian ada parpol yang melakukan impor atau ada calon yang datang dari luar, maka itu bisa menggambarkan bahwa partai itu tidak sehat dan partai itu tidak memiliki kader yang handal, sehingga partai itu harus mengambil orang dari luar. Maka partai itu fungsinya gagal dalam fungsi kaderisasi,” tandasnya.
Kepada NU, Muhammadiyah dan komponen masyarakat se-Kota Bahari, PDI Perjuangan berharap, 10 tahun terakhir menjadi pelajaran dan momen untuk mengembalikan pemerintahan yang dapat bekerja secara maksimal.
Menurut Uyip, tidak sedikit potensi yang belum dikerjakan, termasuk hal-hal ketimpangan sosial yang harus diurus serta ketidakadilan dalam proses pengurusan hak-hak masyarakat yang harus dipenuhi, seperti pendidikan, kesehatan dan rumah tidak layak huni.
“Itupun juga banyak aturan-aturan yang tidak memiliki landasan emosional dan landasan falsafah yang jelas. Inilah yang kemudian perlu kita bedah dalam kebijakan pemerintahan yang akan datang,” pungkasnya.