Pembentukan Taman Nasional Gunung Slamet, menurut dia, merupakan salah satu solusi menyelamatkan hutan Gunung Slamet dari deforestasi. Deforestasi atau alih guna lahan hutan menjadi nonhutan telah terjadi puluhan tahun lalu atau sejak reformasi 1998 silam. Diawali dengan illegal logging.
“Di Kabupaten Tegal banyak hutan lindung dan hutan produksi terbatas. Ternyata banyak pembiaran orang masuk dan terjadilah penyerobotan lahan hutan oleh masyarakat sekitar hutan,”terangnya.
Berdasarkan data yang ia miliki, luas lahan yang di dalamnya termasuk cagar alam dan hutan lindung di wilayah Kabupaten Tegal mencapai 5.000 hektar. Dari total luas lahan 5.000 hektar ini 600 hektar di antaranya dalam kondisi mengalami kerusakan. Diantaranya terjadi di Dusun Sawangan, Desa Sigedong, Kecamatan Bumijawa.
Kerusakan terjadi karena lahan hutan dijadikan lahan untuk bercocok tanaman sayur khususnya kentang. Tanaman kentang menjadi pilihan petani disana karena dapat dipanen dalam waktu 2-4 bulan dan memiliki harga jual tinggi.
Bashori menuturkan, Taman Nasional Gunung Slamet diusulkan seluas 30.000 hektar, yang terbagi Kabupaten Banyumas 14.000 hektar, Brebes 6.000 hektar, Pemalang 5.000 hektar, Purbalingga 95 hektar dan Kabupaten Tegal 5.000 hektar.
Bashori menambahkan, nantinya di dalam Taman Nasional Gunung Slamet terdapat hutan lindung, hutan produksi dan cagar alam.
Ada enam zona di Taman Nasional Gunung Slamet di antaranya zona inti, zona konservasi, zona komoditas, zona pemanfaatan dan dua zona lainnya.
“Jadi nantinya masyarakat bisa terlibat masuk zona pemanfaatan baik rekreasi maupun budidaya. Namun tidak bisa serta merta melainkan harus melalui prosedur yang benar,” ujar Bashori.