Mbah Martasuta mundur dari jabatannya bersama menantunya, Wiranegara atau Suropati. Kendati pada saat itu, pusat pemerintahan Mataram Islam berada di Tegalarum, namun Mbah Martasuta tetap memerangi VOC bersama Tumenggung Martoloyo dan Ki Rangga atau Hanggawana.
Dijelaskan Mas Erwin, Mbah Martasuta merupakan keturunan Kajoran yang memang selalu memerangi VOC dan syiar Agama Islam.
Kegigihan Mbah Martasuta memerangi VOC terus berlanjut hingga Martoloyo diangkat menjadi Bupati Tegal bersama Reksonegoro. Di sisi lain, Mbah Martasuta membaur dengan masyarakat dalam mengembangkan pertanian dan syiar Agama Islam.
Kebesaran nama Mbah Martasuta dijadikan gelar bagi Kepala Desa Dukuhringin pada saat itu, dinamakan gelar Martasuta ke-2 disematkan kepada anaknya, Wangsaprana. Namun, gelar itu berhenti di Martasuta ke-3 yakni Mbah Kuwu atau Mbah Rekso Diwirya.
“Saat ini, makam Mbah Martasuta masih dipelihara dengan baik oleh warga sekitar. Warga secara rutin menggelar tahlilan di makam Mbah Martasuta,” terang Mas Erwin.
Tak hanya itu, warga di luar Desa Dukuhringin juga banyak yang mengunjungi untuk meminta berkahnya. Bahkan, masyarakat Dukuhringin percaya bahwa Mbah Martasuta merupakan pendiri desa tersebut.
“Banyak yang meyakini bahwa Mbah Martasuta kerap memberikan petunjuk jika akan terjadi sesuatu pada wilayah Dukuhringin atau Kabupaten Tegal, bahkan Indonesia,” beber Mas Erwin.
Erwin berharap agar leluhur Mbah Martasuta tetap dilestarikan. Selain Mbah Martasuta berpengaruh terhadap masyarakat Dukuhringin, namun ia menilai juga berpengaruh terhadap pusat pemerintahan Kabupaten Tegal.
Hal itu dikarenakan pusat pemerintahan kabupaten tersebut berada di wilayah Desa Dukuhringin. **