Oleh Prasetya Putra Nugraha, M.Pd, Dosen Kewarganegaraan Politeknik Harapan Bersama
Tepat 65 tahun lalu, Bangsa Indonesia mengalami suatu peristiwa sejarah penting yaitu Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Peristiwa ini dilatarbelakangi semenjak pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949 dengan Konstitusi RIS yang kemudian per 17 Agustus 1950 atas desakan rakyat Indonesia negara kembali dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sedangkan konstitusi yang berlaku adalah Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS).
Pada tahun 1955 untuk pertama kalinya Bangsa Indonesia menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilaksanakan selama dua tahap yaitu untuk memilih anggota DPR dan Dewan Konstituante yang bertugas untuk menyusun UUD yang baru.
Seiring perjalanan waktu Dewan Konstituante dianggap gagal dalam menjalankan tugasnya, apalagi kondisi politik saat itu sangat tidak stabil sehingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang salah satu agendanya adalah kembali pada UUD 1945.
UUD 1945 dianggap yang sesuai dengan jatidiri bangsa serta cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, meskipun dalam pelaksanaannya juga mengalami beberapa penyimpangan seperti diterapkannya Demokrasi Terpimpin pada 1959-1965 yang mana kekuasaan bertumpu pada Presiden Soekarno.
Di masa Orde Baru dengan visi menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai koreksi daripada penyimpangan masa Demokrasi Terpimpin sempat memunculkan angin segar, meski dalam pelaksanaannya juga tidak luput dari penyimpangan yaitu dengan memonopoli keberadaan Pancasila sebagai ideologi bangsa yang menuntut masyarakat untuk memiliki jiwa Pancasilais yang sesuai dengan kehendak rezim pada saat itu.


