“Hidup itu tidak pernah mati, itu salah satunya yang saya yakini Chairil Anwar menemukan entitas identifikasi karya sebagai seorang manusia yang semangat utnuk mengolah kehidupan ini, meskipun secara raga telah dimatikan tapi karyanya tetap kekal,” ujar Apito.
Apito Lahire juga menyebut bahwa Membaca Chairil merupakan sebuah tribute bagi kepenyairan Chairil Anwar yang mentradisi sebagai Hari Puisi Nasional.
“Karya-karyanya juga penyair sebelum dan sesudahnya terus melakukan transformasi kebudayaan lewat puisi sebagai salah satu pewarta kehidupan, kemanusiaan, respon yang terolah lewat ikhtiar ngebyak/kreatif Chairil Anwar dan seluruh penyair Indonesia merupakan jawaban nyata,” ujarnya.
Apito juga menambahkan bahwa puisi dari penyair Indonesia harus terus dibaca sebagai biografi yang terus dibuka tafsirnya tak hanya sebagai teks tapi juga konteksnya hingga puisi memberi efek bagi peradaban bagi manusia Indonesia.
“Sebuah usaha Kampung Seni Kota Tegal yang mesti diteruskan agar sastra puisi tak hanya dimiliki tapi diterjemahkan dalam ruang publik dan komunikatif, ” pungkas Apito.
Sementata itu, Dita Akmalia, seorang Guru Bahasa Indonesia, sekaligus pegiat sastra di Tegal merasakan bahwa setiap membaca puisi-puisi Chairil Anwar rasanya kekal.
“Kenapa di zaman sekarang karya Chairil Anwar serasa kembali lagi, oh ternyata kita melakukan pengulangan-pengulangan, saya jadi berfikir apa kita yang tidak maju-maju atau perasan manusia seperti itu, atau pemikiran Chairil Anwar sejauh itu,” katanya. **