Menumbuhkan Empati di Dunia Pendidikan: Dari Kecerdasan Emosional ke Etika Berbahasa

Oleh: Dr. Nur Aflahatun, M.Pd (Dosen dan Pemerhati Pendidikan-Universitas Pancasakti Tegal)

Etika Berbahasa: Fondasi Kesantunan dan Kemanusiaan
Bahasa bukan hanya alat untuk menyampaikan pesan, tetapi juga cermin moral, budaya, dan kepribadian. Dalam pandangan ahli pragmatik Geoffrey Leech (1983), kesantunan berbahasa (politeness principle) berfungsi menjaga harmoni sosial dengan menghormati perasaan dan muka (face) lawan bicara. Ia menekankan nilai-nilai seperti kebijaksanaan, kerendahan hati, dan kesepakatan dalam berkomunikasi.

Sementara itu, H. Paul Grice (1975) melalui cooperative principle mengingatkan pentingnya berbicara dengan cara yang relevan, jujur, jelas, dan sopan agar komunikasi berjalan efektif dan etis. Ketika prinsip-prinsip ini diabaikan, maka yang lahir bukanlah dialog, melainkan dominasi dan konflik.

Etika berbahasa dalam konteks pendidikan mencakup kemampuan menyesuaikan bahasa dengan situasi, menghormati lawan bicara, dan menghindari ujaran yang melukai perasaan. Bahasa yang santun bukanlah basa-basi; ia adalah bentuk penghargaan terhadap martabat manusia.

BACA JUGA :  Antara Layar dan Lapangan

Mengajarkan etika berbahasa berarti mengajarkan cara berpikir yang beradab, bagaimana menyampaikan kritik tanpa menghina, menolak tanpa menyinggung, dan bercanda tanpa merendahkan. Pendidikan semacam ini akan melahirkan peserta didik yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga dewasa secara sosial.

Dari Teori Menuju Aksi: Membangun Budaya Komunikasi Empatik
Untuk mencegah kasus perundungan terulang, lembaga pendidikan perlu menanamkan dua nilai inti: kecerdasan emosional dan etika komunikasi. Keduanya saling melengkapi, kecerdasan emosional mengajarkan empati, sementara etika berbahasa mengajarkan ekspresi empati secara bermartabat.

error: