“Naren ini salah satu anak yang mempunyai bakat dan potensi besar dalam dunia pedalangan, meskipun tidak berasal dari keluarga dalang. Semangat untuk belajar sangat kuat, dan cukup mudah menyerap materi yang saya sampaikan,” imbuh Ki Marsudi Wahyu Nugroho.
Ia mengatakan, naren sekarang ini terus berlatih suluk atau cengkok, sabetan atau menggerakkan wayang hingga dialog tokoh wayang atau dalam istilah pedalangan disebut ontowecono, ia juga diajari dasar-dasar untuk menjadi seorang dalang. Suaranya dilatih agar pelafalan bahasa Jawanya tidak lagi kerap bercampur dengan logat bahasa Indonesia. Sedari kecil ia memang berkomunikasi dengan ibunya menggunakan bahasa Indonesia.
Sehingga, Naren masih merasa kesulitan membedakan pelafalan e, é, ê dan o dalam bahasa Jawa. Cengkoknya pun masih terus diasah. Saat ia belajar titi laras dan teknik nancep wayang, ia cukup terampil. Saat pelatihnya melihat potensi dan karakter Naren yang unik, penyampaian ceritanya tidak membosankan sebab ia sering menyisipkan humor segar yang menghidupkan suasana.
Jadi, sebagai generasi muda di era globalisasi seperti sekarang ini, kita banyak menemukan banyak tantangan cukup menarik perhatian. Namun, keberadaan seni pedalangan dan seni pertunjukan tidak boleh hilang seiring perkembangan zaman. Budaya Indonesia sangat beragam. Salah satunya seni pedalangan dan seni pertunjukan wayang kulit.
Di era modernisasi sekarang, giat kita sebagai generasi muda yang berkarakter, kreatif, kritis, peduli, serta inovatif adalah melestarikan budaya Indonesia melalui pendekatan secara langsung dan pendekatan persuasif. Tidak hanya dari peran orang tua, masyarakat, kita pun harus ikut andil dalam melestarikannya dengan cara mengikuti giat ekstrakurikuler karawitan maupun membagikan konten seni tradisional melalui peran media sosial. **