Pahlawan, Dosa, dan Jasa: Antara Sejarah Dan Konsistensi Berpikir

Oleh : Rudi yahya

smpantura – Perdebatan tentang siapa yang layak disebut pahlawan nasional kembali mencuat ke permukaan. Nama Soeharto dan Gus Dur kerap menjadi dua kutub perbandingan yang memicu pro dan kontra. Sebagian menolak Soeharto disebut pahlawan karena dianggap memiliki “dosa sejarah”, sementara Gus Dur dipuji setinggi langit karena simbol kemanusiaan dan pluralismenya.

Namun, sesungguhnya persoalan ini bukan semata soal siapa yang benar atau salah, melainkan soal konsistensi berpikir dan keadilan dalam menilai sejarah.

Jika ukuran pahlawan adalah kesempurnaan moral, maka tak ada satu pun tokoh bangsa yang layak menyandangnya. Sejarah bukanlah kisah para malaikat dan iblis, melainkan kisah manusia dengan segala keterbatasan, keputusan, dan konsekuensinya. Di sinilah pentingnya menjadi adil sejak dalam pikiran, sebagaimana pesan bijak yang pernah diucapkan Tan Malaka: keadilan sejati dimulai dari cara kita berpikir, bukan sekadar dari apa yang kita ucapkan.

BACA JUGA :  Bukan Sekedar Viral, Tapi Bergerak Karena Peduli

Soeharto, misalnya, memang tak lepas dari catatan kelam: pelanggaran HAM, pembungkaman kebebasan berpendapat, dan kekuasaan yang terlalu lama. Namun di sisi lain, ia juga meninggalkan warisan besar: pembangunan infrastruktur, peningkatan swasembada pangan, dan stabilitas ekonomi yang membawa Indonesia keluar dari krisis pangan di tahun 1980-an.

Menghapus jasa Soeharto hanya karena dosanya sama tidak adilnya dengan menutup-nutupi kekeliruan tokoh lain karena jasanya. Sejarah menuntut keseimbangan pandangan bukan penghakiman sepihak.

Begitu pula dengan Gus Dur. Ia dihormati karena keberanian memperjuangkan kemanusiaan dan toleransi, membela hak minoritas, serta membangun semangat kebangsaan yang terbuka. Namun, Gus Dur pun manusia biasa yang tak lepas dari kontroversi politik dan kebijakan yang tak selalu populer.

error: