TEGAL, smpantura – Ahli Perancangan Kota, Abdullah Sungkar, menyikapi penyebab terjadinya banjir di ibu kota dan beberapa daerah di Indonesia.
Menurutnya, banjir terjadi bukan soal siapa gubernur atau kepala daerahnya. Namun, soal ‘tinggi’ hujan dan kapasitas pengaliran drainase existing yang tersedia.
Hujan ekstrem lebih dari 150 mm penyebab banjir di Jakarta, baru setengah dari angka hujan ekstrem tahun 2020 saat Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Hujan ekstrem ditandai lebih dari 150 mm per hari hujan. Stasiun ukur Halim mencatat, hari hujan tahun baru 2020-377 mm per hari hujan.
Ini bahkan dua kali lebih besar batasan hujan ekstrem BMKG yang angkanya 150 mm per hari hujan.
Kanal-kanal dan bangunan sistem drainase lainnya didesign dengan acuan hidrologis return periode hujan tertentu, misal hujan 5, 10, 20, atau 100 tahunan.
Semakin tinggi angkanya, maka semakin besar dimensinya dan otomatis semakin besar biayanya.
Tapi rasanya jarang sekali sistem drainase yang didesain untuk antisipasi banjir ekstrem, kecuali geografisnya juga ekstrem seperti Belanda yang 20 persen wilayahnya di bawah muka air laut.
Sistem pengendalian banjir tidak bisa hanya mengandalkan kanal banjir saja, kecuali mungkin jika hanya untuk drainase lingkungan dengan daerah layanan yang tidak terlalu luas.
Selain kanal drainase yang menampung run off (limpasan air hujan permukaan), maka harus ada sistem drainase intercept yang menghadang air di catchment area hulu banjir, seperti bendung, waduk atau polder.
Apalagi jika intercept run off alamiah di hulu tidak bekerja karena kerusakan lingkungan.
Ditambah lagi berkurangnya tutupan tanah alamiah karena menjadi daerah terbangun, maka semakin besar run off karena air tidak sempat (sebagian) meresap ke dalam tanah.
Urusan hujan dan banjir memang rumit, maka hampir rata-rata literatur tentang hidrologi banjir bukunya tebal-tebal.
Jadi, soal banjir yang dapat disalahkan hanya jika ada kasus korupsi dalam pekerjaan kegiatan pengendalian banjir.
Hal ini karena patut diyakini bahwa tentu segala sisik melik pekerjaan sistem antisipasi banjir ditangani oleh mereka yang memiliki kompetensi pada bidangnya.
Dan land use yang tidak water sensitive juga harus dikritisi sejak awal perancangan regulasi rencana tata ruang wilayah dimulai.
Meminjam terminologi Mc Harg, kita perlu pendekatan Design with Nature.
Rawa-rawa dan semak belukar di pesisir sering dianggap kumuh, sehingga dianggap perlu dirapihkan.
Padahal itu juga pangkalan air yang menangkap lumpur dan pasir laut sehingga menghasilkan akresi dan menahan salinitas tanah pesisir sehingga dapat ditumbuhi.
Dengan melihat peta time series, maka mudah dilihat perubahan luas badan air permukaan.
Nah, di sinilah kita sering abai.
Saling menyalahkan hanya akan melahirkan dendam untuk membalas pada kejadian alam yang berulang, karena kekuasaan politik.juga saling bergantian.
Mengamati bagaimana kebijakan infrastruktur air dan mitigasi bencana banjir, sungguh lebih penting. Sekali lagi, siapa pun Kepala Daerahnya. (T03-Red)