Aspek pemeliharaan itu, menurutnya, perlu menghidupkan kembali jembatan timbang, penertiban kendaraan ODOL (over dimension over load), membuat regulasi, penyadaran sopir dan pengusaha angkutan, hingga menggunakan semacam aplikasi untuk teknologi monitoring.
“Jembatan timbang ini hanya salah satu dari aspek pemeliharaan, tetapi jembatan timbang sudah mencerminkan pencegahan muatan berlebih. Perlu kajian apakah menambah atau reaktivasi jembatan timbang yang sudah ada. Menurut saya perlu karena jembatan timbang bisa mengontrol beban muatan kendaraan, sehingga mengurangi kerusakan jalan,” ungkapnya saat ditemui di kampus Undip.
Sebagai catatan, setelah ditutup pada 2019, saat ini jembatan timbang ditangani Kementerian Perhubungan. Kemenhub telah mengaktfikan sejumlah jembatan timbang di Jateng-DIY. Ada 10 jembatan timbang, di antaranya di Tanjung (Brebes), Subah (Batang), Sarang (Rembang), Banyudono (Boyolali), Klepu (Kabupaten Semarang), Ajibarang (Banyumas), Wanareja (Cilacap), Kulwaru (Kulonprogo), Kalitirto dan Tamanmartani (Sleman).
Untuk penertiban ODOL, menurut Yudi, perlu regulasi dan penyadaran yang dilakukan secara bertahap. Semua harus dipahamkan bahwa jalan adalah ruang publik yang dibiayai dari pajak semua pengguna kendaraan. Penggunaan kendaraan yang melebihi batas ukuran dan beban akan merusak jalan yang juga merugikan pengguna jalan lain yang tertib.
“Zero ODOL harus bertahap, sosialisasi ke sopir ODOL, perusahaan dan masyarakat menjadi penting. Kalau langsung dilarang juga gak bisa, harus ada toleransi. Misal angkutan ukuran besar dipecah jadi dua. Mereka perlu dipahamkan pada prinsip keadilan jalan, sehingga paham dan tidak merugikan,” ujarnya.