Perlunya Pendidikan Seks di Usia Dini untuk Pembentukan Kesehatan dan Kesadaran Anak-anak

Oleh Tri Wulan Dari, Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pancasakti Tegal.

Minimnya pendidikan seks pada anak di Indonesia saat ini menjadi permasalahan yang sangat kompleks. Adat istiadat ketimuran yang kuat dipadukan dengan unsur agama yang ketat membuat sebagian besar masyarakat menganggap pendidikan seks adalah hal yang tabu dan akan membawa perubahan pada nilai-nilai tradisional dan moral masyarakat.

Meski seks kerap dianggap  tabu, namun perilaku seksual remaja masa kini di Indonesia justru cukup memprihatinkan. Selain itu, seiring kemajuan teknologi, remaja dapat mengakses berbagai konten  seksual dari internet dan sumber lainnya. Akibatnya, kasus-kasus pornografi, pelecehan seksual, dan ketidaksenonohan remaja kerap muncul di pemberitaan nasional.

Menurut survei Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes)  pada bulan Oktober 2013, sekitar 62,7 persen remaja  Indonesia pernah melakukan hubungan seks di luar nikah. Yang lebih menyedihkan lagi, dari 94.270 perempuan yang mengalami kehamilan di luar nikah, 20% masih berusia remaja dan 21% di antaranya pernah melakukan aborsi.

Selain risiko kehamilan di luar nikah, penelitian ini juga mengungkap fakta bahwa 10.203 kasus infeksi HIV  dipantau selama periode tiga bulan, dan 30% yang tertular adalah remaja. Fenomena ini disebabkan remaja dapat dengan mudah mengakses konten pornografi tanpa memberikan pendidikan seks kepada anak sejak dini.

Dengan edukasi seksual secara dini diharapkan anak tidak akan mendapatkan informasi yang salah atau yang kurang tepat seputar seks yang bisa di peroleh dari sumber yang tidak dapa dipercaya, seperti dari internet atau dari teman-teman sebaya. Peranan penting orang tua dalam edukasi seks kepada anaknya diantaranya adalah anak mengetahui kalau orang tua dapat diajak berdiskusi seputar seks.

Menurut Simund Freud, tahapan perkembangan psikoseksual yang dilalui anak terbagi menjadi empat Fase, pertama adalah fase pragential, yaitu saat anak belum menyadari fungsi dan perbedaan alat kelamin antara laki-laki dan perempuan. Masa ini dibagi menjadi dua, yaitu masa oral (0-2 tahun) dan masa anal (2-4 tahun). Masa oral ditandai dengan kepuasan yang diperoleh anak melalui daerah oral atau mulut.

BACA JUGA :  Bung Karno Ndesep

Pada tahap ini, anak memperoleh informasi seksual melalui aktivitas mulutnya. Pada usia 0-1 tahun bayi mendapat perasaan nikmat ketika menyusu melalui puting susu ibunya. Sedangkan pada usia 1-2 tahun anak terlihat cenderung antusias memasukkan apa saja yang dilihat ke dalam mulutnya. Sementara pada pada masa anal, kepuasan anak didapat malalui daerah anusnya. Rasa nikmat dirasakan melalui aktivitas yang menyangkut proses pembuangan. Mereka cenderung berlama-lama di kamar mandi. Anak usia 2-4 tahun juga sering menahan kencing atau buang air besar.

Fase yang kedua disebut masa phallus, yaitu saat anak sudah menyadari perbedaan seks antara dirinya dengan temannya yang berbeda jenis kelamin. Anak pun mulai suka membandingkan alat kelamin miliknya dengan temannya yang lain. Anak juga akan mengalami fase laten yang umumnya berlangsung pada usia 6-10 tahun. Minat seksual berkembang menjadi berbagai bentuk sublimasi dari kemampuan psikis anak.

Fase ini terbagi menjadi dua, yaitu bagian awal dan bagian akhir. Di bagian awal anak tidak lagi memperhatikan sensasi yang dirasakan alat kelaminnya. Sedangkan di bagian akhir anak mulai merasakannya kembali. Ini dikarenakan anak mulai beranjak mengenal dorongan seksual dan ketertarikan pada lawan jenis.

Pendidikan Seksual bisa diterapkan ke anak  dengan permainan sederhana yang dibuat oleh orang tua atau pendidik tentang mengenalkan alat kelamin, misalnya bermain kartu untuk mengenalkan alat kelamin anak, bisa juga dengan menggunakan stiker alat kelamin, bahkan  lagu atau lagu juga bisa berbicara tentang bagian tubuh mana saja yang diperbolehkan. untuk disentuh dan dilihat dan bagian tubuh mana yang tidak, dapat dilihat dan disentuh oleh orang lain. Karena anak kecil mudah mengingat  informasi ketika belajar melalui permainan.

error: