“Kalau sekarang sudah ada alat bantu yang bisa mempercepat produksi, kalau dulu semua manual. Saya hanya mengandalkan pisau untuk menyerut bambu agar bisa seperti tali,” ungkapnya.
Di saat usaha lain tergoncang akibat adanya pandemi Covid-19, Wadi menurutkan, usaha tutus yang digeluti sebenarnya tidak terpengaruh. Usahanya ini akan terpengaruh saat sedang tidak musim panen bawang merah. Sebab, tutus ini kebutuhannya membludak saat musim panen.
“Kalau soal pasaran, tutus ini musiman. Kalau pas musim panen bawang, permintaan akan banyak. Nah, pas mus panen ini, produksi kami dinaikan,” terangnya.
Wadi membeberkan, untuk proses pembuatan tutus ini, dari bambu yang sudah dibelah. Selanjutnya disayat tipis. Namun proses ini dilakukan saat kondisi bambu masih basah. Sebab, saat bambu kondisinya kering akan sulit di proses menjadi tutus. Biasanya bambu yang basah ini hanya bisa bertahan satu minggu, dan akan kering. Ketika kering bambu harus direndam air agar basah, dan bisa dibuat tutus.
“Intinya sih, tutus ini dibuat saat bambunya masih basah,” sambungnya.
Selain musim panen, kata Wadi, faktor lain yang mempengaruhi penjualan saat ini adalah adanya persaingan.
“Dulu, hanya saya yang menjual tutus, jadi pembeli cukup ramai. Tapi sekarang sudah banyak yang bikin, petaninya sendiri sekarang juga banyak bikin sendiri sama toko-toko juga mulai banyak menjualnya,” ucapnya.
Tutus buatan Wadi itu, dijual seharga Rp2.000 per ikat. Sedangkan untuk bahan baku bambu dibeli Rp18.000 per batang, dengan ongkos jalan Rp 2.000 per batang. Dari satu bambu ini, Wadi bisa menghasilkan penghasilan sekitar Rp50.000 atau kurang lebih 25 ikatan.