Sarung Batik dan Semangat Tri Sakti Bung Karno

Oleh: Wahid Abdulrahman (Alumni Program Doktoral Kajian Asia Tenggara Goethe University Jerman)

smpantura – Kritik atas kebijakan pemakaian “sarung batik“ setiap hari Jumat untuk ASN di lingkungan Pemprov Jawa Tengah patut disyukuri. Sebagai jamu yang “pahit” namun menyehatkan. Selain juga sebagai cermin bahwa demokrasi masih tumbuh, di mana setiap warga bebas memberikan penilaian atas kebijakan pemerintah. Tinggal kemudian bagaimana pemerintah meresponnya.

Dalam sudut pandang hukum, berangkat dari Surat Edaran No : B/800.1.12.5/843/2025, kebijakan tersebut nampaknya tidak ada yang keliru.

Terlebih ada “cantolan” regulasi dari Kementerian Dalam Negeri yakni Permendagri No 10 Tahun 2024 tentang Pakaian Dinas ASN di lingkungan Kemendagri dan Pemerintah Daerah. Kalaupun ada yang menilai tidak tepat, sangat mungkin regulasi tersebut ditinjau ulang.

Kritik kemudian muncul ketika coba dibangun dalam sudut pandang budaya, religi, bahkan sebagian menghubungkannya dengan “politik identitas” dan ketidakpekaan terhadap situasi sosial masyarakat Jawa Tengah dewasa ini. Sekali lagi tafsir tersebut wajar.

BACA JUGA :  Pahlawan, Dosa, dan Jasa: Antara Sejarah Dan Konsistensi Berpikir

Tidakkah kita ingat satu dari “Tri Sakti” yang disampaikan Bung Karno menyangkut “berkepribadian dalam budaya”. “Sarung Batik” adalah bagian dari budaya yang memiliki akar kuat dalam tradisi masyarakat di Jawa.

Maka dengan memakai sarung batik setidaknya sekali dalam seminggu, sebuah harapan untuk membangun kepribadian dalam budaya bisa diletakkan.

Harus diakui memang ada nuansa religi dalam sarung yang selama ini erat dengan santri. Namun demikin perlu kita melihat bahwa tradisi sarung tidak saja tumbuh di kalangan santri di Jawa, di Malaysia, bahkan di India pun sudah lama tumbuh.

Tentu dengan berbagai corak dan motivnya. Apalagi dalam perspektif nasionalisme keindonesiaan, sarung adalah salah satu simbol perlawanan atas kolonialisme.