Sejarah Odong-Odong, Ternyata Berasal dari Tradisi Ritual Kepercayaan Totemisme

SLAWI, smpantura – Odong-odong yang biasanya digunakan untuk anak-anak bermain, ternyata berasal dari kesenian Sunda tepatnya dari Kabupaten Subang, Jawa Barat, yaitu Sisingaan. Kini, odong-odong juga menjadi salah satu alat transportasi menuju obyek wisata.

Dilansir dari laman Viva.co.id, nama odong-odong berasal dari kesenian Sunda tepatnya dari Subang, yaitu Sisingaan. Hal ini diungkapkan oleh Suwardi Alamsyah P dalam tulisan berjudul Sisingaan: Kesenian Tradisional Kabupaten Subang yang sudah diterbitkan di situs Kemendikbud.

Dalam tulisannya, Suwardi menjelaskan bahwa penamaan odong-odong untuk sisingaan dipelopori oleh Mas Nanu Munajar, seorang seniman akademisi yang berasal dari daerah Subang. Ia berpendapat bahwa kesenian Sisingaan berawal dari kesenian Odong-odong yang awalnya memiliki fungsi dan makna ritual.

Lebih jauh, tulis Suwardi, Mas Nanu Munajar mengatakan, bahwa jauh sebelum agama-agama besar masuk, masyarakat di daerah Subang telah memiliki tradisi yang berkaitan dengan aktivitas pertanian, yaitu tradisi odong-odong. Tradisi yang dimaksud adalah kepercayaan yang memuja dan mengagungkan padi dan para leluhur serta kekuatan-kekuatan supranatural. Sisingaan sendiri diperkirakan sudah ada sejak tahun 1857.

Nah, dalam tradisi awal odong-odong ini dilangsungkan, dengan cara mengarak sesuatu benda yang dibentuk menyerupai binatang tertentu dan diiringi dengan bunyi ‘surak’ (tepuk tangan berirama). Peniruan bentuk binatang ini adalah ekspresi dari kepercayaan totemisme (kepercayaan dan pemuliaan terhadap hewan tertentu). Odong-odong ini biasa dipertunjukan pada konteks ritual, seperti ritual pertanian, dan upacara Ngaruwat Bumi.

Jadi penamaan odong-odong akhirnya terbawa hingga ke permainan anak. Namun, tentu saja odong-odong sekarang tak ada hubungannya dengan ritual dahulu, hanya namanya saja yang digunakan.

Dikutip dari jurnal berjudul ‘Bentuk dan Fungsi Odong-Odong di Jakarta’ yang ditulis oleh Awang Eka Novia Rizali dari jurusan Desain Produk FSRD, Universitas Trisakti, menjelaskan bahwa odong-odong mulai marak muncul dan menjamur pada tahun 2000-an di Indonesia, di Jakarta, dan kota besar lainnya.

BACA JUGA :  Peninggalan Zaman Megalitikum Banyak Dijumpai di Brebes Selatan

Kemunculan odong-odong diawali dengan jenis odong-odong yang dijalankan dengan sistem kayuh seperti sepeda. Pengemudi berada di belakang, kemudian mainan mobil-mobilan atau bentuk lainnya dipasang dan digerakkan dengan cara dikayuh. Kemudian, odong-odong pun ada pula yang bertransformasi menjadi transportasi untuk berkeliling kota.

Umumnya, odong-odong menjadi wahana permainan bagi anak-anak. Di dalam odong-odong, biasanya diputar lagu anak untuk tambahan hiburan.

Meski dulu sempat berkeliaran bebas, namun kini, tepatnya di 2013, odong-odong dilarang beroperasi di jalan raya. Landasan pelarangan terjadi karena odong-odong menyalahi aturan uji tipe dan lalu lintas serta dinilai tidak aman. Hal itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kendati begitu, odong-odong masih bisa ditelorir jika hanya beroperasi di komplek perumahan dan jalanan perumahan, dan tidak ke jalan raya yang besar dan padat.

Bahkan, fungsi odong-odong meluas menjadi alat transportasi untuk menuju obyek wisata. Di Kabupaten Tegal, odong-odong kerap dijadikan alat transportasi paket wisata. Biasanya, setiap orang dikenakan tarif Rp 50 ribu untuk naik odong-odong, sekaligus tiket masuk wisata.

Selain itu, odong-odong juga menjadi kendaraan pawai atau mengiring acara, seperti mengantarkan pengantin, mengantarkan sunatan, dan terbaru menjadi kendaraan untuk mengantarkan bakal calon Bupati saat mendaftar di partai. (T05_Red)

error: