Sinergi Multi Pihak
BATANG, smpantura – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), memberikan perhatian ekstra terhadap bahaya munculnya tindak pidana terorisme.
Namun selama kurun waktu beberapa tahun, bersama seluruh elemen masyarakat berupaya melakukan langkah pencegahan, dengan menerapkan strategi pentahelix atau multi pihak.
“Indeks Risiko Terorisme di Indonesia antara tahun 2021-2022 mengalami penurunan hingga 51 persen. Target itu melebihi Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN),” kata Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen Pol Ahmad Nur Wahid saat menjadi nara sumber utama dalam Sarasehan Kebangsaan Bersama Forkopimda Batang di pendapa Kabupaten Batang, Sabtu (25/2).
Hadir pada acara itu Pj Bupati Lani Dwi Rejeki, Ketua DPRD Maulana Yusup, Dandim 0736 Letkol Inf Alam Ahmad Budiman, Kapolres AKBP Saufi Salamun, Kajari Mukharom, Ketua PN Haryuning Respanti, dan Pj Sekda Ari Yudianto.
Acara juga diikuti pimpinan OPD Pemkab Batang, Paguyuban Kades Sang Pamomong, Persatuan Perangkat Desa Indonesia(PPDI), Paguyuban Pengurus Rumah Tangga (PPRT), serta berbagai ormas.
Brigjen Pol Ahmad Nur Wahid menuturkan, demikian pula dengan Indeks Potensi Radikalisme mengalami penurunan menjadi 10 persen dari 12 persen bahkan sebelumnya 38 persen. Penurunan berkat sinergi yang baik BNPTdengan seluruh elemen masyarakat, yang menerapkan strategi pentahelix dengan berbaga pihak.
Dia menegaskan, semua tindakan terorisme dapat dipastikan memiliki paham radikal. Namun tidak serta merta, mereka yang terpapar paham radikal, otomatis menjadi teroris.
“Seperti yang sudah dibubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), meskipun radikal, tapi tidak termasuk teroris. Seseorang dikatakan teroris jika setelah berpaham radikal masuk ke dalam jaringan teror, yang tergabung dalam Daftar Terduga Terorisme dan Organisasi Terorisme (DTTOT) di antaranya Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharud Daulah (JAD) dan lainnya,”tegasnya.
Dia meminta masyarakat memahami tindakan teroris diawali dengan adanya beberapa unsur yang telah terpenuhi.
Yakni apabila ada kelompok yang terpapar paham radikal dengan indikasi anti-Pancasila, pro ideologi transnasionalisme, anti pemerintah, intoleransi dan mengkafirkan orang lain dan anti kearifan lokal yang didukung bergabung dengan jaringan terorisme.
“Sikap mereka ditandai dengan mengucapkan baiat atau ikrar sumpah kepada pemimpin mereka, lewat media pengajian mulai mengatur strategi-strategi, latihan perang. Sampai merakit bahan peledak hingga penggalangan dana, sehingga oleh Densus 88 dilakukan tindakan pencegahan.”
Selain itu, masyarakat harus mewaspadai adanya residivis teroris, yakni ketika dia masuk sebagai napi terorisme karena tidak mengikuti program deradikalisasi. Dimungkinkan akan bergabung dengan jaringan teroris.
“Adapula napi teroris yang telah bebas, tapi melakukan aksi teror kembali. Bisa juga residivis yang berasal dari tahanan masuk ke Lapas karena tindak kriminal, terpapar oknum napi teroris dan begitu keluar bergabung dengan jaringan teroris,”tuturnya. (P02-Red)