Pembangunan infrastruktur desa dilaksanakan oleh perangkat dan/atau unsur masyarakat desa serta mengutamakan memperdayakan swadaya dan gotong royong masyarakat. Namun, proses pembangunan desa tidak menutup ruang akan keterlibatan pihak ketiga sepanjang adanya perjanjian kerja sama atau peraturan bersama.
Hal tersebut tertuang dalam Pasal 143 ayat (1) PP 43/2014 yang menjelaskan bahwa kerja sama desa dilakukan antar desa dan/atau dengan pihak ketiga. Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” dalam Penjelasan Pasal 128 ayat (2) PP 43/2014 adalah lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan atau perusahaan yang sumber keuangan dan kegiatannya tidak berasal dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan/atau Desa.
Larangan Serah Pihak Ketiga
Pemerintah tidak mengizinkan penggunaan dana desa untuk membayar proyek kepada pihak ketiga, melainkan proyek harus dilakukan secara swakelola atau melalui kerja sama antar desa.
Ini bertujuan untuk memaksimalkan manfaat dana desa bagi masyarakat desa dan menghindari potensi penyalahgunaan atau korupsi. Pihak ketiga yang dimaksud seperti dikerjakan rekanan ataupun kontraktor yang berafiliasi dengan sumber keuangan negara.
Dasar hukum dana desa yang tidak boleh diserahkan kepada pihak ketiga adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah terkait pelaksanaannya.
Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada pemerintah desa untuk mengelola dana desa, termasuk melakukan pekerjaan yang didanai oleh dana desa secara swakelola.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menjelaskan definisi dana desa sebagai alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk desa. Pasal 71 ayat (2) mengatur bahwa keuangan desa, termasuk dana desa, dikelola oleh pemerintah desa. Dalam Pasal 71 ayat (3) disebutkan bahwa dana desa digunakan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.