“kelebihan sendiri kita tinggalkan untuk meniru kekurangan orang lain! Catat baik-baik, sersan, hal ini harus kita perangi!”
“itu belum apa-apa, Jenderal. Ada yang lebih darurat!”
“apa itu?”
“bangsa kita mulai meniru untuk cebok dengan tisu!”
“aaarrgghh…..nggilaniiii!”
TEGAL, smpantura – Penggalan dialog dua orang pemain Hari Gentayangan Nasional (HGN) dilantangkan oleh Prayoga sebagai Jenderal dan Azhar Rifandi sebagai Sersan, yang merupakan sajian dari Teater Qi, Kota Tegal dalam rangka Parade Teater Sutradara Perempuan di Gedung Rakyat Slawi, Sabtu (17/12).
Hari Gentayangan Nasional adalah karya dari Idnas Aral, seorang pelaku seni dari Solo. Berkisah tentang arwah dua orang veteran perang yang menilik Kembali tempatnya dulu berjuang.
Keadaan yang telah banyak berubah membuat dua pejuang itu merasa takjub, heran dan bahkan merasa tidak sanggup menerima apalagi mengubah keadaan.
Sebagai arwah, tidak ada yang dapat mereka perbuat, selain menyaksikan dan merasakan berbagai gejolak emosi terhadap keadaan yang mereka lihat, seperti penggalan dialog berikut.
“Mau apa dikata jenderal, kita hanyalah pasukan yang telah tutup usia, kita hanya menembakkan kata-kata, melemparkan cita-cita, menghunjamkan wangsit-wangsit…”.
Konsep pementasan lebih pada surealis, di mana dialog dan seting yang disuguhkan adalah tentang hal-hal nyata dan tidak nyata, demikian kata sang sutradara, Rias Viri.
Bentuk adegan lebih merujuk pada imajinatif kreatif kontemporer, kadang terlihat spontan dan komikal, kadang realis dan kadang absurd, yang berlangsung secara kontinyu.
“Naskah ini dipilih karena muatan dialog yang ringan namun bermakna. Keadaan riil dari kata-kata yang ditembakkan menjadi semacam peluru bagi yang memahami,” jelasnya.