Namun, lanjut Rias, tidak mengapa bila belum paham karena waktu akan membantu, meski tidak banyak.
Menurutnya, naskah tersebut menawarkan bentuk ruang utopis, adanya peluang adegan yang terjadi bisa kompleks sesuai imajinasi masing-masing, bahwa arwah bisa bicara, berpikir, berlaku dan (seakan-akan) merasa seperti hal nya makhluk hidup.
“Dialog yang mengalir dan kadang satir, menjadi kekuatan dari naskah ini,” timpalnya.
Adapun proses persiapan terbilang cukup singkat, kurang lebih 2,5 bulan, tidak memerlukan terlalu banyak kru sebagaimana halnya pementasan teater Qi yang lain.
Seting panggung yang menggambarkan puing-puing bangunan terbengkalai dengan tanaman merambat dan daun berserakan serta sumur tua di sisi samping depan bangunan, menambah kesan angker, dengan jitu di wujudkan oleh Rieky Rafsanjani dan Torikin sebagai penata artistik.
Cahaya temaram menambah kesan kelam di tembakkan oleh Gendon sebagai penata lampu. Alunan biola yang mendayu oleh Rafa, orjen yang mengalun oleh Daprut dan genderang yang menggempur oleh Dimas sebagai penata musik, juga Diva, Titania, Allam, Raturangga sebagai penata kostum dan make up, menjadikan pertunjukan Hari Gentayangan Nasional sungguh menggebrak jiwa raga para penonton.
Para pemain tambahan lain seperti Arda, Zaer dan para zombie yang menjadi dancer pun menambah warna pada pementasan ini.
Pertunjukan yang memakan waktu kurang lebih 45 menit ini berjalan dengan lancar meski ada sedikit kendala teknis di akhir pertunjukan berupa mati lampu dari pusat, namun inisiatif penonton dengan menyalakan flash light membuat pertunjukan semakin menampakkan kesan seramnya. (T03-Red)