TEGAL, smpantura – Konon Kota Tegal lahir pada tanggal 12 April 1580, kini sedang menyambut hari jadi ke 443. Jangan tanyakan bagaimana tanggal tersebut ditemukan, karena bentuk dokumennya merupakan Peraturan Daerah, tentu sejarah ini dibuat berdasarkan keputusan politik.
Bahkan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang memiliki catatan administrasi wilayah jajahannya, tidak mencatat tanggal tersebut.
Bahkan pula 1580 V.O.C belum berdiri. Perusahaan Hindia Timur Belanda, secara resmi bernama Persatuan Perusahaan Hindia Timur (bahasa Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie disingkat VOC) didirikan pada 20 Maret 1602.
VOC adalah persekutuan dagang asal Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Jadi, sebenarnya 12 April 1580 masih terbuka untuk dikaji secara ilmiah.
De Graaf Menyebutkan, pelabuhan Tegal sebagai depot logistik Sultan Agung dalam perang Jayakarta. Tetapi tidak ada catatan langsung yang menyebut, Tegal sebagai bagian wilayah Mataram Sultan Agung.
Konsep ruang wilayah dalam Kerajaan Mataram dibagi dua, Negara Agung sebagai inti kerajaan dan Mancanegara.
Penyerbuan di Batavia adalah serangan pada tahun 1628 dan tahun 1629 oleh Sultan Agung dari Kesultanan Mataram ke Batavia (sekarang Jakarta), pusat VOC di kepulauan Nusantara, pada tahun 1628 dengan tujuan, untuk mengusir VOC dari Pulau Jawa, lalu menjadikan Batavia sebagai pangkalan militer Mataram.
Bila Tegal bagian dari Mataram Sultan Agung, maka besar kemungkinan Tegal berada pada wilayah Mancanegara dalam teritorial Mataram.
Ketika perang Jayakarta, antara Mataram dan Koloni Belanda, De Graaf menyebut ada 200 kapal, 400 rumah, dan gunungan padi yang dibakar, armada Belanda untuk memotong logistik pasukan Sultan Agung.
Ini merupakan bukti, betapa Tegal adalah kota pelabuhan yang strategis. Dengan acuan ini, maka Kota Tegal memang sudah terbentuk pada tahun 1580, karena selisih waktu dengan perang Batavia hanya 48 tahun. Hanya tanggal 12 April yang masih jadi misteri sejarah Kota Tegal.
Pigou menulis, ada tiga syarat untuk sejahtera dan mensejahterakan rakyat land, labor, capital land tanah atau rumah untuk tinggal atau berusaha. Labor, lapangan kerja untuk memperoleh biaya hidup. Dan capital, modal uang dan atau keahlian untuk survive dalam kehidupan kota yang semakin ketat persaingannya, dalam bidang apa saja.
Pigou adalah ekonom klasik terakhir, dia menulis The Economics of Welfare sebagai textbook ekonomi kesejahteraan.
Ia menawarkan, ketersediaan faktor-faktor produksi yang bermuara pada kesejahteraan umum. Prasyarat bagi kesejahteraan ekonomi. Yang diajukan Pigou adalah invention and improvement, penemuan dan pengembangan atau peningkatan.
Kota Tegal, jika dijejaki sejarah era kolonial nya, adalah sebuah Company Town. Kota yang terbentuk karena memfasilitasi perusahaan-perusahaan Belanda, terutama perusahaan kereta api dan jasa angkutan kapal.
Jaringan jalan yang terbentuk telah menunjukkan sistem transportasi antar moda darat/rel dan laut. Sistem antar moda yang kini dicanangkan kembali.
Tegal sebagai company town dibangun ketika di Amerika dan Eropa sedang demam city beautiful movement, gerakan mempercantik kota-kota dagang yang ditandai dengan taman-taman kota dan gedung kantor dengan facade yang berhampiran langsung dengan jalan raya.
Salah satu ruang publik itu bernama Garling Park, yang sekarang taman poci dan sekitarnya. Membangun itu dengan konsep yang jelas, terkandung nilai-nilai, dan peka lingkungan. dengan tetap menampilkan bentuk estetik.
Henry Mclain Pont merancang distrik stasiun Kereta Api Tegal sebagai satu kesatuan lingkungan yang utuh. Dia gunakan sumbu arah Timur-Barat dengan dua kutub, Stasiun dan Masjid Agung.
Koridor jalan sumbu ini ditegaskan, dengan lining vegetasi pohon kenari yang berfungsi juga untuk membentuk micro climate kawasan. Gedung birao mengarah pada sumbu jalan Utara-Selatan yang diapit dua hamparan rumput berbentuk kotak, yang juga koridor hijau. Sungguh satu kesatuan landscape heritage yang perlu dijaga sebagai pusaka kota (jika masih ada).
Luas Kota Tegal sebelum pengembangan wilayah tidak seluas sekarang. Margadana dan sebagian Tegal Selatan masih wilayah administrasi Pemkab Tegal.
Dulu Tegal lebih mendekati konsep Compact City, kota yang padat penduduknya, lengkap infrastrukturnya, dan setiap bagian kotanya mudah dicapai dalam sepuluh menit jalan kaki.
Bagian timur kota pada district stasiun kereta api dirancang sebagai company town, kota dalam kota yang juga lengkap infrastrukturnya.
Tiga puluh tahun setelah pengembangan kota secara spatial diberikan Pemerintah Pusat kepada Kota Tegal, wajah bagian wilayah kota hasil pengembangan tidak terlalu kentara ciri urbanized (menjadi wajah kota).
Perda Tata Ruang Kota Tegal juga “mengunci” Tegal Selatan dan Margadana untuk berkembang, karena pola hirarkis Pusat Kota-Sub Pusat Kota Penunjang Sub Pusat Kota masih dipertahankan. Wajar jika yang terlihat adalah bolak-balik pembangun Jalan Pancasila-Alun alun-Jalan Ahmad Yani.
Berbeda dengan aktor pengembangan Kota Tegal masa kolonial Hindia Belanda yang dimotori sektor swasta dari kegiatan perdagangan, industri, dan maritim, maka kini Pemerintah Kota Tegal adalah aktor utama transformasi wajah kota.
Akibatnya, keputusan politik sangat menentukan prioritas pembangunan kota. Pembangunan citra kota seperti ingin diidentikkan dengan membangun citra Walikota.
Ini terlihat dari jargon-jargon dari mulai moncer, laka-laka,kota wisata, bersinar, city walk, amazing, dan city of event. Setiap Walikota ingin memberi tanda era masa jabatannya sebagai bentuk kebanggaan pribadi.
Padahal glorifikasi era kolonial Tegal sebagai Company Town ingin diwujudkan kembali dalam Visi dan Misi Kota Dagang, Jasa, Industri, dan Maritim.
Pelabuhan Tegal juga diwacanakan pengembangannya oleh para Walikota tiap periode, walau tanpa perencanaan yang memadai. Satu yang dilupakan jika ingin memajukan kota, kuatkan dulu ekonomi warganya.
Maka kota akan berkembang secara auto pilot. Dan pertumbuhan mandiri inilah, tonggak sejarah kota Tegal. Dirgahayu Kota Tegal. (T03-Red)