Di era tahun 1980, kondisi jalur kereta api tidak seperti saat ini. Selain lalu lintas Kereta Api yang belum padat, rel KA yang ada belum dua jalur. Di sisi lain, kala itu masih banyak ditemukan perlintasan KA yang belum dilengkapi palang pintu.
Kondisi ini juga seperti yang ada di Kampung Pak Irin, di sebuah desa di Kabupaten Tegal. Di tahun 1980, Pak Irin yang kini berusia kepala lima, masih remaja. Rumah Pak Irin ini, tidak jalur dari jalur KA, dan sebuah perlintasa yang tidak dilengkapi palang pintu.
Di era itu, KA masih menjadi sebuah transportasi yang terbilang mewah. Saat ada KA yang melintas, anak dan remaja seusia Pak Irin terlihat senang, dan wajib menontonnya. Apalagi, di dekat perlintasan KA kampung Pak Irin menjadi salah satu titik bermain anak remaja kala sore hari.
Saat itu, hari Jumat. Pak Irin masih ingat sekali, siang itu sekitar pukul setengah sebelas, ia bersama teman-temannya sedang bermain di tepi rel kereta api, di kampungnya. Tidak jauh dari tempat bermainnya itu, terdapat sebuah perlintasan kereta api tanpa palang pintu. Waktu memang mendekati salat Jumat, sehingga banyak warga yang beraktivitas di sawah dan kebun, juga mulai pulang untuk mempersiapkan ibadah salat jumat. Mereka pulang melintasi perlintasan rel kereta api tanpa palang pintu ini.
Lokasi perlintasan kereta api ini, memang tidak jauh dari pemukiman warga. Ya, berjarak sekitar 10 meter-an. Saat Pak IRIN sedang asyik bermain, dari arah barat melintas sebuah mobil pikup, dengan empat penumpang. Dua orang berada di dalam, termasuk sopir, dan dua orang lainnya berada di luar, di bak pikup.
Saat itu, warga mengetahui akan ada kereta api pengangkut minyak yang melintas. Melihat di jalan juga melaju mobil pikup, warga pun meneriaki sopir pikup untuk berhenti, termasuk Pak Irin dan teman-temannya. Namun mobil ini tetap melaju, seolah-olah baik sopir maupun penumpang yang ada di bak mobil tidak mendengar teriakan warga.
Saat mobil berada tepat di atas rel kereta api, mendadak mogok. Parahnya lagi, dari empat orang yang ada di Mobil pikup ini, seorang pun tidak ada yang turun. Padahal, warga sudah berteriak sangat keras, untuk memberitahu ada kereta yang melintas. Warga yang melihat pun tak seorang pun berani mendekat untuk mendorong, karena Jarak kereta api dan mobil sudah sangat dekat.
Tak berselang lama, terdengar suara benturan keras akibat mobil ditabrak kerata api. Warga yang melihat pun, sontak berteriak, termasuk Pak Irin dan teman-temannya. Mereka melihat langsung dengan matanny insiden kecelakaan ini. Mobil pun hancur, sementara keempat penumpang, termasuk sopir meninggal dunia semua, dengan kondisi mengenaskan. Tubuh mereka berserakan, kaki dan tangan putus, serta kepalanya hancur.
Insiden kecelakaan maut yang merenggut empat korban jiwa ini pun menggemparkan kampung Pak Irin. Warga yang mendengar langsung berdatangan ke lokasi kejadian. Sementara pihak berwajib yang datang, langsung mengevakuasi keempat jenazah korban kecelakaan ini. Termasuk, bangkai mobil pikup yang ringsek. Empat korban kecelakaan ini, diketahui baru pulang dari mengantar batu bata merah. Mereka merupakan warga salah satu desa di Kabupaten Tegal.
Peristiwa maut ini pun berlalu, setelah matahari mulai terbenam. Namun, dari sini lah teror justru mulai menyerang warga di kampungnya pak Irin.
Di malam harinya, suasana kampung pak Irin mendadak berubah mencekam. Warga yang biasanya masih hilir mudik di jalan desa, malam itu, suasananya sepi dan sunyi. Apalagi, rumah-rumah warga yang berada dekat dengan perlintasan kereta api. Sejak adzan magrib berkumandang, pintu rumah mereka sudah tertutup rapat. Tidak ada, warga yang santai di depan rumah.
Benar saja, pas tengah malam, warga yang rumahnya berdekatan dengan lokasi kejadian, mendengar suara rintihan orang minta tolong dari arah rel Kereta api. Anehnya, suara rintihan ini bukan satu dua orang yang mendengarnya, tetapi hamper semua warga yang rumahnya berdekatan dengan Rel Kereta Api. Bahkan, ada juga warga yang pintu rumahnya diketuk-ketuk, saat dicek ternyata tidak ada seorang pun.
Sehari setelah kejadian, teror ini semakin menjadi. Wanto, seorang warga di kampung Pak Irin mengalami teror ini secara langsung. Malam itu, Wanto yang masih saudara dengan Pak Irin ini, baru pulang dari Jakarta. Wanto selama ini merantau di Jakarta, dan pulang ke kampung karena ada keperluan. Sekitar pukul 11 malam, Wanto berjalan kaki dari jalur pantura menuju kampungnya. Kala itu, tidak ada angkutan umum maupun ojek. Satu satunya cara ya berjalan kaki.
Saat Wanto hendak menyeberang rel kereta api, sayup sayup terdengar suara minta tolong. Suaranya terdengar menyayat hati.
“Mas tolong… tolong, ini kaki saya, tolong mas…,” suara yang terdengar di telinga Wanto.
Mendengar itu, Wanto tersentak kaget dan mencari sumber suara. Nampak dari kejauhan, ada seseorang berada di tepi rel Kereta Api. Wanto menduga, pria itu yang meminta tolong, sehingga mendekatinya. Semakin mendekat, semakin jelas juga suara minta tolong yang terdengar ditelingannya. Saat itu, pria yang meminta tolong terlihat menundukan kepala dengan posisi berjongkok.
Saat berjarak sekitar 2 meter, Wanto pun menyapa pria yang meminta tolong dan bermaksud memantunya. Namun Wanto tersentak kaget sejadi-jadinya, saat pria yang meminta tolong mendongakkan kepada sambal berucam, “Mas tolong ini kaki saya mana?”.
Mata wanto langsung terbelalak, bulu kuduknya langsung berdiri, karena Wanto melihat muka pria itu hancur dengan bola mata yang hilang, sambil memperlihatkan kakinya yang putus dengan berlumuran darah. Melihat itu, wanto langsung bertiak, dan lari sekuat tenaga menuju pemukiman penduduk.
Setelah sekian lama berlari dan sudah jauh dari rel kereta api, wanto melihat ada beberapa warga yang tengah duduk dan menghampirinya. Kejadian yang dialami ini, diceritakan ke warga yang ditemui dan mereka ternyata kenal dengan Wanto. Setelah menceritakan kejadian horror yang dialami, Wanto akhirnya tahu, jika sehari sebelum pulang ada kecelakaan maut, dan pria yang ditemui di rel kerata api itu merupakan perwujudan dari para korban kecelakaan maut itu.
Teror korban kecelakaan kereta api ini, juga dialami Hardi, warga lainnya di kampung Pak IRIN. Ia mengalami teror setelah lima hari kecelakaan terjadi. Hardi yang juga merantau di Jakarta malam itu pulang kampung. Lagi-lagi dialami saat akan menyeberang rel kereta api. Hardi mendengar suara rintihan sangat jelas ditelinganya, saat mencoba mencari sumber suara, ternyata tidak ada seorang pun. Bulu kuduk Hardi mendadak merinding, saat suara rintihan itu berubah menjadi bau busuk yang menyengat. Ia pun langsung buru buru meninggalkan perlintasan kerata api. Setelah kejadian yang dialami diceritakan ke keluarganya, Hardi baru tahu jika di kampungnya sedang mengalami teror hantu korban kecelakaan kereta api.
Hampir setiap malam, warga kampung mengalami teror tersebut, baik penampangan secara langsung atau hanya suara rintihan minta tolong. Bahkan, teror ini berlangsung selama 40 hari. Pak Irin juga melihat ada sesajen ditempatkan di lokasi kejadian kecelakaan, mungkin itu dilakukan agar arwah para korban bisa tenang. Setelahnya, teror korban kecelakaan ini mulai berhenti, dan warga berangsung Kembali beraktivitas saat malam hari.
Kisah teror korban kecelakaan kereta api ini, sempat menjadi urban legend di kampung pak IRIN. Namun saat ini, perlintasan kereta api itu sudah dilengkapi palang pintu, bahkan kini juga semakin banyak rumah yang berdiri sekitar rek kereta api. Sehingga suasanannya semakin ramai. (**)