Oleh : Ahli Perancangan Kota, Abdullah Sungkar
Rocky Gerung sangat suka dengan kata ‘dungu’ yang dia lawankan dengan kata ‘nalar’.
Dalam banyak perdebatan Rocky pamerkan kemampuan the power of reasoningnya. Lawan-lawan debat dibuatnya kerepotan untuk menyanggah.
Tentu Anda boleh setuju atau tidak, tapi bahwa nalar itu penting, tentu kita bisa sependapat. Nalar yang saya maksud di sini adalah terjemah dari reason dan reasoning.
2024 merupakan tahun Pilkada, perlombaan menjadi wali kota, bupati dan gubernur akan segera diselenggarakan.
Di Kota Tegal sudah terpasang gambar-gambar peminat kursi wali kota di pinggir jalan dan di gang-gang pelosok kota.
Dengan berbagai jargon dan citra diri yang mereka tampilkan. Seorang wali kota akan menjadi penguasa tunggal yang akan ‘membangun’ kota setelah terpilih.
Disebut penguasa tunggal, karena bahkan wakil wali kota teman seiring bisa tersingkir jika berkonflik dengan sang wali kota.
Bahkan, wali kota tidak perlu lagi memasang gambar berdampingan dengan wakil wali kota.
Masalahnya, bagaimana penduduk sebuah kota menguji the power of reasoning dalam satu forum kontes kecerdasan yang adil dan jujur?
Memang akan ada debat kandidat, tapi bukankah para calon presiden juga berdebat dalam kontes nasional. Toh, belum tentu yang dianggap cerdas oleh pendukungnya yang akan menang.
Dan kontes debat politik memang bukan ujian skripsi di hadapan para dosen yang akan menilai alur pikir dan argumen para mahasiswanya dalam mempertahankan buah pikir hasil studinya selama beberapa tahun di kampus.
Kembali kepada soal the power of reasoning. Jika boleh bertanya kepada para peminat kursi wali kota, maka kita akan bertanya,…”Untuk apa Anda ingin jadi Walikota Tegal?”.
Dan kita menduga akan mendapat jawaban heroik dan patriotik, “Untuk membangun kota dan sejahterakan rakyat warga kota Tegal”. Bagaimana caranya?
Nah, pertanyaan lanjutan ini yang menarik kita bahas dari bab nalar, the power of reasoning.
Ali Madanipour menulis buku Designing the City of Reason. Tentang bagaimana evolusi pemikiran kolektif manusia yang membentuk kota-kota huniannya sepanjang zaman.
Dua unsur ‘reason’, cause and motive : keseimbangan antara sebab akibat dan motif.
Sebuah desain, apalagi desain kota, tentu didasari hubungan sebab-akibat antara wadah dan yang diwadahi, antara manusia dan lingkungannya.
Keseimbangan ini menjadi terganggu (atau bahkan rusak), ketika ‘motive‘ lebih mendominasi perancangan/ perencanaan sebuah kota. Dalam hal ini pertanyaan
“Untuk apa Anda ingin jadi wali kota?” pada awal tulisan menjadi relevan.
Nalar/ reason/ mantiq adalah kapasitas untuk mengatasi keruwetan, mengurainya menjadi simpul simpul kecil yang mudah diurai, membentuk kembali dengan cerdas, kemudian mengendalikan keruwetan.
Nalar adalah urusan intuisi dan kalkulasi manusia untuk mengambil keputusan, keseimbangan antara apa yang diyakini dan apa yang dilakukan kata Ali Madanipour.
Pendek kata, nalar menjadi ukuran seorang Walikota mampu mengurai dan rampungkan masalah kota yang dipimpinnya.
Melalui bukunya yang berjudul Designing the City of Reason, Ali Madanipour seperti ingin mengatakan bahwa nalar manusia adalah landasan dan kerangka kerja dalam merancang dan membangun sebuah kota.
Pada awalnya mungkin kota bertumbuh dari komunitas kecil di tepi sungai atau di pelabuhan pantai di mana manusia saling berkunjung, datang dan pergi karena berbagai alasan dan keperluan.
Menurut Madanipour (2007), inilah awal pertumbuhan kota yang dituntun keyakinan supranatural.
Kota adalah ujud kehadiran tuhan atau sosok pengusa yang menuhankan diri. Firoun adalah sosok yang tepat dalam deskripsi ini.
Evolusi kota berbasis nalar ini terus tumbuh sesuai pertumbuhan nalar manusia modern. Penguasa kota dan institusi perkotaan menjadi semakin mekanik.
The city of machine bukan hanya tentang ketergantungan pergerakan orang dan barang pada sistem transportasi masinal seperti mobil saja, tapi sistem pengambilan keputusan dalam manajemen kota juga bekerja seperti mesin dengan pola tertentu.
Ini terlihat misalnya, ketiga seorang Kepala Dinas mendapat protes atas kegiatannya, dia sebagai mesin birokrasi akan otomatis bereaksi : “Kami hanya jalankan perintah kepala daerah dan sudah disetujui legislatif”.
Buku Ali Madanipour ini seperti memberi kuliah pada para penguasa kota dan mesin birokrasinya tentang bagaimana bernalar dan cara gunakan nalar dalam rancang bangun kotanya.
Bernalar adalah berproses, sebuah keputusan untuk membangun ruang publik, misalnya, harus diambil melalui pemikiran dan pembicaraan panjang yang melibatkan banyak orang.
Nalar yang menuntun dan menjawab pertanyaan dimana dibangun, untuk apa dibangun, siapa pengambil manfaat dari hasil pembangunannya dan juga menalar proporsionalitas anggarannya dibanding objek pembangunan strategis lainnya.
Saya suka baca karya Ali Madanipour, pakar urban design yang tetap ketimuran walaupun hidup dan mengajar di Barat.
‘Space‘, ruanglah yang menjadi pusat perhatiannya. Tentu yang dimaksud Ruang Kota sesuai bidang kepakarannya, urban design
Ketika Madanipour membedakan antara public space dan private space, penjelasannya filosofis sekali.
Ruang privat esensinya adalah dialog dan interaksi between mind and body.
Ketika seseorang mengendalikan pikirannya dan jasadnya, maka sepenuhnya dia berada di ruang privat.
Ini tentu saja menarik, karena bisa saja seseorang di dalam rumah tapi pola pikirnya ‘public‘ karena gaya hidupnya yang public oriented.
Kata ‘public‘ diturunkan dari kata latin ‘populus’, maknanya rakyat dalam pengertian yang luas. Jadi, public space ya ruang rakyat.
Memang pada awalnya ruang publik ini arena pertemuan dan komunikasi serta berbagi ruang dengan bebas pada komunitas warga kota.
Dalam perkembangannya kata publik, berubah menjadi memiliki makna authority sehingga pengelolaan ruang publik kota menjadi authorized, alias dikuasai pemerintah kota.
Atas nama profesionalitas dan kemampuan membiayai dan merawat ruang publik, maka pemerintah kota menjadi manajer ruang publik.
Karena namanya ‘public‘, maka ruang publik menjadi ruang politik dimana diharapkan menjadi lambang kesejahteraan masyarakat kotanya.
Ruang publik merupakan ruang promosi bagi pengaruh otoritas yang bertujuan mendorong kesejahteraan umum.
Patriotic, itulah komentar Ali Madanipour tentang bagaimana seharusnya ruang publik dikelola.
Jadi yang dicari calon wali kota yang patriotik dan walinalar yang mampu memberi solusi pada masalah publik yang dihadapi warga dan kota yang akan dikelola dan dipimpinnya. Semoga. (T03-Red)