Menurut Madanipour (2007), inilah awal pertumbuhan kota yang dituntun keyakinan supranatural.
Kota adalah ujud kehadiran tuhan atau sosok pengusa yang menuhankan diri. Firoun adalah sosok yang tepat dalam deskripsi ini.
Evolusi kota berbasis nalar ini terus tumbuh sesuai pertumbuhan nalar manusia modern. Penguasa kota dan institusi perkotaan menjadi semakin mekanik.
The city of machine bukan hanya tentang ketergantungan pergerakan orang dan barang pada sistem transportasi masinal seperti mobil saja, tapi sistem pengambilan keputusan dalam manajemen kota juga bekerja seperti mesin dengan pola tertentu.
Ini terlihat misalnya, ketiga seorang Kepala Dinas mendapat protes atas kegiatannya, dia sebagai mesin birokrasi akan otomatis bereaksi : “Kami hanya jalankan perintah kepala daerah dan sudah disetujui legislatif”.
Buku Ali Madanipour ini seperti memberi kuliah pada para penguasa kota dan mesin birokrasinya tentang bagaimana bernalar dan cara gunakan nalar dalam rancang bangun kotanya.
Bernalar adalah berproses, sebuah keputusan untuk membangun ruang publik, misalnya, harus diambil melalui pemikiran dan pembicaraan panjang yang melibatkan banyak orang.
Nalar yang menuntun dan menjawab pertanyaan dimana dibangun, untuk apa dibangun, siapa pengambil manfaat dari hasil pembangunannya dan juga menalar proporsionalitas anggarannya dibanding objek pembangunan strategis lainnya.
Saya suka baca karya Ali Madanipour, pakar urban design yang tetap ketimuran walaupun hidup dan mengajar di Barat.
‘Space‘, ruanglah yang menjadi pusat perhatiannya. Tentu yang dimaksud Ruang Kota sesuai bidang kepakarannya, urban design