SLAWI, smpantura.news – Hampir semua pelajar aktif membuat status whatsapp (WA) di handphone masing-masing tiap hari. Biasanya mereka mengaktualisasikan kegundahan melalui media tersebut. Status itu ternyata bisa menjadi inspirasi dalam menulis puisi.
Hal itu disampaikan Penulis Puisi asal Banyumas, Wanto Tirta saat menjadi pembicara dalam Workshop Literasi Penulisan Kreatif untuk Guru dan Siswa SMA 1 Slawi di Aula SMA setempat, Kamis (24/8). Workshop yang diikuti sekitar 150 siswa dan puluhan guru SMA 1 Slawi itu, juga dihadiri pemateri dari Dosen Unikal Pekalongan, Dr Dina Nurmalisa.
Wanto Tirta yang dikenal sebagai Presiden Geguritan Banyumas itu, memberikan materi tentang cara menulis puisi dari mulai metode penulisan puisi hingga mendapatkan inspirasi untuk menulis puisi. Saat berdialog dengan para siswa, banyak pertanyaan bagaimana cara mendapatkan ide menulis puisi. Selain itu, cara menjaga semangat dalam menulis puisi.
“Ide sederhana untuk menulis puisi bisa dari status WA. Untuk menjaga agar semangat menulis puisi, menulis puisi harus menjadi rutinitas,” ujar Wanto Tirta.
Budayawan asal Banyumas itu juga menuturkan, mencari ide membuat puisi bisa dilakukan dengan mengunjungi wisata atau tempat yang nyaman untuk mencari inspirasi. Inspirasi juga bisa diperoleh dari kegundahan atau kritik di lingkungan sekitar. Bahkan, hal kecil yang membuat pikiran dan hati tak nyaman, juga bisa menjadi pijakan dalam menulis puisi.
“Jangan berhenti menulis. Bisa karena terbiasa,” ujarnya.
Koordinasi Literasi SMA 1 Slawi, Muarif menjelaskan, Workshop Literasi Penulisan Kreatif untuk Guru dan Siswa digelar karena tingkat literasi di Kabupaten Tegal, dan di kalangan siswa sangat rendah. Terutama, siswa sangat jarang untuk menulis sebuah karya. Menulis biasanya hanya dilakukan untuk memenuhi tugas pelajara Bahasa Indonesia.
“Kami terapkan penulisan di pelajaran Bahasa Indonesia, karena harus ada produk yang dihasilkan. Untuk pelajaran lainnya belum diterapkan budaya menulis,” katanya.
Ditambahkan, budaya literasi di SMA 1 Slawi telah digalakan dengan membuat kelompok penggiat literasi. Mereka memajang hasil karyanya di mading sekolah. Selain itu, juga di majalah sekolah Melati. Namun sejak era digitalisasi, majalah sekolah itu sudah tidak terbit. Kondisi itu juga terpengaruh dengan pandemi Covid-19.
“Guru-guru sebenarnya banyak yang menulis, tapi hanya sebatas karya untuk memenuhi syarat akreditasi,” pungkasnya. (T05_Red)